Monday, November 30, 2009

Berwisata Sejarah di Kota Tua Banten Lama

UPDATE - Posting ini sempat muncul di situs indobackpacker.com
pada tanggal 19 Juni 2010


Titik-titik air hujan mulai menampar kaca mobil saat kami mencapai kawasan Banten Lama, setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam dari Jakarta, 11 km dari pintu tol Serang Timur. Awan tebal berwarna abu-abu terlihat menggantung di langit. Seluruh penumpang di dalam mobil yang berjumlah delapan orang mengeluh dan berdoa agar hujan tidak menjadi semakin lebat.


Ini adalah perjalanan jauh pertama kami secara bersama-sama, setelah beberapa tahun yang lalu berpisah dari satu rumah kost yang sama di Bandung, saat satu persatu telah selesai menjalani masa perkuliahannya masing-masing.

Awalnya...
Rencana menjelajahi sisa kejayaan Kerajaan Islam Banten ini muncul saat kami berdiskusi, enaknya jalan-jalan selanjutnya ke mana ya? Dari browsing internet, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi situs ini, yang terletak relatif tidak jauh dari kota Jakarta, sehingga perjalanan dapat dilakukan sehari penuh tanpa perlu menginap. Lucunya, saat mendekati hari H satu persatu peserta berguguran karena acara mendadak dan lain sebagainya. Namun pada hari H-1, semua akhirnya menyanggupi untuk mengikuti tur kecil-kecilan tersebut karena ada pasangan muda yang mau mensponsori transportasi. *Thanks CiKi!* :))

Akhirnya pada tanggal 28 November 2009 lalu kami merealisasikan rencana tersebut. :) Kami berangkat dari Jakarta sekitar jam 09:00 (yang rencana awalnya jam 07:00, hehehe), dan tak terasa sekitar dua jam telah kami lewati untuk mencapai Banten Lama. Gerimis sempat datang sebentar saat kami tiba dan berpotensi mengacaukan acara jalan-jalan kami, namun tak terlalu kami hiraukan, walaupun membuat kami sedikit resah.



Perjalanan Menuju Banten Lama - Sempat deg-deg-an
karena gerimis sempat datang saat kami tiba dan
berpotensi mengacaukan acara jalan-jalan kami

(11:00) Setelah kami memarkir mobil di area parkir yang dikelilingi warung-warung kecil, kami menuju Benteng Keraton Surosowan. Dinding benteng dengan konstruksi batu bata merah dengan campuran kapur itu terlihat megah, rupanya ia masih menyimpan sisa-sisa kejayaan masa lampau. Situs ini dikelilingi oleh pasar yang dikelola oleh penduduk, sehingga kami harus berputar-putar dahulu untuk mencari gerbang masuk ke dalam benteng tersebut. Rentetan keluh kesah mulai bermunculan lagi saat kami mendapati gerbang besi ke dalam benteng tersebut terkunci!

Tak hilang akal, setelah melihat beberapa orang penduduk memanjat dinding benteng tersebut, salah seorang di antara kami pun turut memanjat. "Wah isi dalam bentengnya bagus!", serunya setelah berhasil mencapai atas dinding benteng. Tapi sisa dari rombongan pun hanya tersenyum simpul, karena meragukan kemampuan masing-masing dalam "pemanjatan ilegal" tersebut, hehehe...

Awan kelabu terlihat semakin kelabu, sehingga salah seorang teman lainnya mengusulkan untuk melihat-lihat dahulu ke dalam Museum Kepurbakalaan Banten Lama, yang terletak tepat di depan Benteng Surosowan, sekaligus mencari guide yang mungkin dapat membantu kami dalam menjelaskan sejarah peninggalan Kerajaan Islam Banten tersebut.

Museum Kepurbakalaan Banten Lama
Tarif masuk ke dalam museum hanya Rp 1000,- per orang. Di museum ini kami berkenalan dengan Pak Slamet, yang selanjutnya menjadi teman perjalanan kami dalam menyusuri jejak sejarah Kerajaan Islam Banten. Pak Slamet sebagai guide dengan sabar menjelaskan secara rinci sejarah Kerajaan Islam Banten dengan menunjukkan foto-foto dan alat peraga yang terdapat di dalam museum.



Museum Kepurbakalaan Banten Lama - Sayangnya kurang terawat...

Karena bawaan saya yang selalu tidak dapat berkonsentrasi apabila dijelaskan secara lisan tanpa alat peraga visual, saya dengan gelisah menatap ke sekeliling, dan merasa agak kecewa karena museum tersebut tampak kurang menggugah dan kurang menarik. Benda-benda sejarah yang dipajang tampak berdebu dan terlihat kurang terawat. Seorang teman berceletuk, seharusnya museum ini dapat dijadikan lebih menarik apabila dibuat semacam alat peraga visual yang menjelaskan secara jelas beserta bukti otentik mengenai wujud bangunan keraton pada masa itu. Saya setuju. Hehehe...

Namun dari beberapa sumber yang telah saya baca, ternyata memang sejarah Kerajaan Islam Banten sejak abad 16 hingga abad 19 belum terkuak secara detail hingga saat ini. Potongan-potongan sejarah Kerjaan Islam Banten masih ditelusuri dan dikumpulkan oleh para sejarawan sampai detik ini.

Tapi secara keseluruhan, setidaknya museum tersebut telah memberikan gambaran secara garis besar akan sejarah dan kehidupan sehari-hari penduduk Kerajaan Islam Banten pada masa silam.

Hot Tips: Pihak museum menawarkan semacam paket tur arkeologi, sekitar Rp 100.000 - 150.000,- untuk maksimal 10 orang. Nanti kita akan diajari cara mencari dan menggali sebuah situs sampai cara mendokumentasi artefak yang ditemukan.

Situs Keraton Surosowan
Tak terasa akhirnya tur di dalam museum berakhir. Sekarang saatnya tur yang sesungguhnya! Keluar dari museum secara reflek saya langsung mendongak ke arah langit dan takjub mendapati awan kelabu mulai bergerak ke arah barat. Langit biru mulai terlihat di balik awan mendung. Karena habis gerimis, angin terasa lebih sejuk dibandingkan saat kami baru datang. Dengan sumringah kami menuju Benteng Surosowan. Dan ternyata Pak Slamet dititipi kunci oleh penjaga museum, dan akhirnya kami pun berhasil masuk ke dalam benteng! Yippy!


Situs Keraton Surosowan - Dulunya tempat tinggal
para sultan Banten yang dibangun pada tahun 1552

Begitu gerbang dibuka, kami melihat sisa reruntuhan Keraton Surosowan di dalam benteng. Walaupun berupa reruntuhan, tumpukan batu bata merah dan batu karang tersebut masih tampak membentuk sebuah bangunan keraton.

Dari beberapa sumber, disebutkan bahwa reruntuhan keraton seluas sekitar 3,5 hektar ini dulunya merupakan tempat tinggal para sultan Banten yang dibangun pada tahun 1552. Pada tahun 1680, benteng ini dihancurkan Belanda akibat peperangan antara Kerajaan Banten dan penjajah Belanda, pada saat itu Kerajaan Islam Banten berada di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Keraton ini sempat diperbaiki namun kemudian dihancurkan kembali pada tahun 1813, karena pada saat itu sultan terakhir Kerajaan Islam Banten, Sultan Rafiudin, tak mau tunduk kepada Belanda.

Menurut Pak Slamet, dulu situs ini hanya tertutup gundukan tanah, hingga kemudian mulai digali dan dipugar kembali pada sekitar tahun 1970-an. Hingga kemudian perlahan-lahan tampak sisa-sisa reruntuhan keraton tersebut.

Bakar Apa Sih??
Ada cerita lucu (atau lebih tepatnya ANEH) tentang situs ini. Pertamanya sih kami berombongan mengamati ada seorang pria berusia sekitar 20-an sedang duduk di rumput, membakar sesuatu. Salah seorang di antara kami langsung menyadari bahwa yang dibakarnya adalah ... (maaf) tumpukan celana dalam pria! Astagaaa! :(

Setelah bertanya-tanya ke Pak Slamet, ternyata salah satu alasan gerbang keraton dikunci, selain agar situs tetap bersih dari sampah, adalah karena pada malam hari banyak penduduk atau wisatawan lokal yang suka memanjat ke dalam benteng, dan ..... berbuat XXX (sensor) di dalamnya. Yaiks! Kenapa kok pake ninggalin CD sih?? Aneh banget. Pantesan dikunciii... :(


Masjid Agung Banten
Setelah makan siang di warung dekat museum, kami mampir ke Masjid Agung Banten untuk sholat. Terlihat berbagai macam pedagang yang bebas berjualan di dalam masjid. Dan di sini berulangkali kami dimintai sumbangan "tak resmi", sedikit-sedikit harus bayar. Benar-benar mengganggu kenyamanan para pengunjung yang ingin beribadah.

Situs Istana Keraton Kaibon
(14:30) Selesai dari masjid, kami bertolak ke sisa peninggalan Istana Kaibon, tempat tinggal Ratu Aisyah, ibunda Sultan Syaifudin. Reruntuhan ini masih terlihat (agak) lengkap membentuk sebuah istana keraton. Di samping istana ini terdapat kanal dan pepohonan besar, saya bayangkan pasti dahulunya istana ini bagus dan indah sekali. Namun lagi-lagi, istana ini pun dihancurkan oleh Belanda pada tahun 1832, akibat peperangan antara Kerajaan Banten dan Belanda pada saat itu.


Istana Kaibon - sisa reruntuhan kediaman
Ratu Aisyah, ibunda Sultan Syaifudin

Vihara Avalokitesvara
Tujuan selanjutnya adalah ke Vihara Avalokitesvara. Menurut salah satu sumber, vihara ini merupakan salah satu vihara tertua di Indonesia. Saya jadi merenung, apabila di dalam sebuah kerajaan Islam saja dapat berdiri sebuah vihara, tentunya keberadaan vihara ini merupakan bukti bahwa pada saat itu penganut agama yang berbeda dapat hidup berdampingan dengan damai tanpa konflik yang berarti. Sungguh menarik.

Vihara Avalokitesvara

Di dalam vihara ini sendiri terasa sejuk karena banyak pepohonan rindang, dan terdapat tempat duduk yang nyaman untuk beristirahat. Pak Slamet bercerita bahwa di selasar koridor vihara yang menghubungkan bangunan satu dengan yang lainnya ini terdapat relief cerita hikayat Ular Putih, yang dilukis dengan berwarna-warni sebagai elemen estetis.

Benteng Spellwijk
Puas berkeliling di dalam vihara, kami menuju benteng Spellwijk yang terletak tepat di depan vihara ini. Dan di depan vihara ini pula terdapat kedai es kelapa muda yang menggiurkan, sayangnya kami tak sempat mencicipi karena terdesak oleh waktu.


Benteng Spellwijk - sekarang jadi lapangan bola
dan tempat kambing cari rumput, hehehe..


Dahulunya Benteng Spellwijk digunakan sebagai menara pemantau yang berhadapan langsung ke Selat Sunda dan sekaligus berfungsi sebagai penyimpanan meriam-meriam serta alat pertahanan lainnya, namun pada saat ini digunakan hanya sebagai lapangan bola oleh para penduduk. Di sana kami diajak Pak Slamet untuk masuk dan mengamati sebuah terowongan yang katanya terhubung dengan Keraton Surosowan.

Di dalam kawasan benteng ini kami harus berjalan dengan hati-hati, karena terdapat banyak "peninggalan" kambing-kambing ternak yang dibiarkan bebas merumput di sana. Huhuhuhu...

Menara Pacinan Tinggi
(16:30) Tak terasa hari sudah sore, kami pun bersiap-siap menuju Jakarta kembali dengan pemberhentian terakhir Menara Pacinan Tinggi. Dahulunya ini adalah kawasan Masjid Pacinan Tinggi, namun saat ini hanya tersisa menaranya saja. Kami hanya mengamati menara tersebut dari dalam mobil karena sudah capai berjalan-jalan.


(kiri) Pak Slamet - Tour guide kami yang sabar bangett! :D
(kanan) Menara Pacinan Tinggi


Saat tur Banten Lama ini secara resmi berakhir, kami mengucapkan salam perpisahan serta tak lupa memberikan imbalan jasa kepada Pak Slamet yang telah bersabar menjelaskan sejarah Kerajaan Islam Banten kepada kami (yang kebanyakan tidak sabar mendengarkan dan malah sibuk foto-foto! Hehehehe...) Makasih banyak ya Pak! :)

Huhuy! Banten Lama benar-benar sukses menyegarkan otak kami saat liburan panjang kali ini. What a great trip!

OK, sekarang kita pulang ke Jakarta untuk nonton New Moon bareng-bareng di Setiabudi! Hahaha! :D

+ + + + +

Catatan Tambahan
(1) Buat yang suka fotografi, di sini banyak spot seru buat foto-foto & prewed.
(2) Untuk cerita mengenai sejarah Banten & referensi jalan-jalan yang lebih lengkap, bisa coba dilihat di sini:

Sunday, November 22, 2009

Bertemu Tibetian Monks

Posting tamu oleh : Dhitta Puti Sarasvati

Beberapa hari yang lalu saya mengunjungi perpustakaan pusat Bristol.

Menurut teman saya ada beberapa Tibetian Monks dari Tashi Lumpo Monestry yang sedang membuat lukisan dengan pasir. Saya sangat tertarik ingin mengetahui teknik pembuatan lukisannya. Pasir berwarna diletakkan ke dalam sebuah corong logam lalu di samping corong ada bagian bergerigi. Bagian ini digesek-gesekan dengan sebuah alat, sehingga pasir keluar secara perlahan. Wow mengerjakan lukisan tersebut benar-benar membutuhkan kesabaran.


Foto (c) Dhitta Puti Sarasvati, 2009

Para Tibetian Monks dari Tashi Lumpo Monestery ini juga berjualan berbagai barang seperti gelang, kartu pos, hiasan dinding, karena mereka sedang mengumpulkan dana untuk pembebasan Panchen Lama yang bernama Gedhun Choekyi Niyam, salah satu tahanan politik paling muda di dunia.

Saat saya sedang melihat-lihat barang-barang yang dijual oleh para monks, saya terpana pada sebuah hiasan dinding berwarna jingga. Tulisannya begini:
THE PARADOX OF OUR AGE

We have bigger houses but smaller families;
more convinience, but less time;
we have more degrees, but less sense;
more knowledge, but less judgement'
more experts, but more problems;
more medicines, but less healthiness;
We've been all the way to the moon and back,
but have trouble crossing the street to meet the new neighbour.
We built more computers to hold more
information to produce more copies than ever, but have less communication;
We have become long on quantity,
but short on quality.
These are times of fast foods
but slow digestion;
Tall man but short character;
Steep profits but shallow relationships;
It's a time when there is much in the window, but nothing in the room

... His Holiness the 14th Dalai Lama


Foto (c) Dhitta Puti Sarasvati, 2009

Entah kenapa kata-kata ini begitu mengena bagi saya, mungkin juga koreksi terhadap diri sendiri. Saya meminta izin kepada sang biksu yang menjaga barang-barang dagangan untuk memotrer tulisan ini lalu mengobrol sedikit tentang Pancen Lama yang sedang dipenjara. Akhirnya saya berjalan pulang.




Profil Kontributor
Puti, teman saya, seorang praktisi bidang pendidikan, menyelesaikan masternya di Bristol, England. Ini adalah salah satu postingnya tentang Bristol, kota yang ia tempati selama menjalani kuliahnya di sana. Anda dapat membaca tulisan-tulisan Puti lainnya di Warna Pastel & Mahkota Lima.

Friday, November 20, 2009

Ujung Genteng on A Shoestring

"Pokoknya apa pun yang terjadi, kita tujuannya have fun ya!"

Pernyataan itu seakan membuka awal dari perjalanan kami menuju Ujung Genteng, Sukabumi Selatan, Jawa Barat.

Beberapa waktu yang lalu, saya dan teman-teman sempat berjalan-jalan ke Ujung Genteng, sebuah kawasan pantai di selatan Sukabumi, dengan berbagai macam spot wisata tersebar di daerah ini. Berjarak sekitar 200 kilometer dari Jakarta, maka membutuhkan sekitar 6 hingga 8 jam perjalanan untuk mencapai Ujung Genteng.

Rencananya kami berempat (saya, Hanny, Mitra, & Lisa) akan ke sana selama 2 hari 2 malam, dengan transit semalam di Sukabumi, memanfaatkan libur akhir minggu sehingga tidak memerlukan izin cuti. Sebagai budget backpacker amatiran, kami menuju Ujung Genteng dengan budget per-orang Rp 200.000,- (yang langsung di-deposit ke Mitra), serta beberapa print-out hasil googling di internet & kepiawaian Mitra dalam menentukan moda & rute transportasi, hehehe...


Hari ke-1,
Jumat 6 November 2009


(16:30) Titik pertemuan kami adalah di Percetakan Negara, di depan kantor teman-teman jalan saya nanti. Dari sana kami berempat bertolak menuju Terminal Pulogadung untuk naik bus AC Jakarta-Bogor menuju Sukabumi. Sampai di Sukabumi sekitar jam 8 malam dengan kondisi cuaca yang hujan rintik-rintik, kami melanjutkan perjalanan dengan ELF Surade-Bogor, yang serunya bisa muat sampai 18 orang! Padahal kapasitas normal cuma sekitar 12 orang! Hahaha kenek yang sangat kreatif... Di ELF itu kami hanya bisa tertawa-tawa menyadari posisi duduk yang sudah tidak jelas.
Kocakkkk!! Kalo duduknya bisa vertikal, pasti dijabanin juga deh tuh sama si kenek. :))

(21:00) Akibat hujan & kemacetan yang disebabkan oleh jam orang pulang kantor, kami tiba di Stasiun Cibadak sekitar jam 9 malam. Menginap semalam di rumah neneknya Mitra, dan disuguhi makan malam yang terasa enak sekali karena perut kosong dan tubuh yang sudah terasa lelah. Setelah bersih-bersih & makan malam, kami langsung beristirahat untuk menyiapkan energi untuk esok paginya.


Hari ke-2,
Sabtu 7 November 2009


(07:30) Setelah selesai beres-beres, kami melanjutkan perjalanan dari Cibadak dengan menggunakan angkot ke Terminal Lembur Situ, yang dilanjutkan dengan bus AC MGI Surade-Bogor, melewati Stasiun Jampang Kulon menuju Surade.

(13:00) Akhirnya kami sampai di Terminal Surade sekitar jam 1 siang. Dari Surade, kami naik angkot sekali lagi menuju Ujung Genteng. 22 km mendekati Ujung Genteng. Sopir angkot yang tumpangi menawarkan untuk menyewakan angkotnya selama kami berjalan-jalan di sana. Dari hasil tawar-menawar, akhirnya kami sepakat untuk menyewa angkot dengan biaya Rp 160.000,- untuk antar jemput, cari penginapan, mengantar ke Curug Cikaso & mengejar sunset di Pantai Cipanarukan, serta jasa tour guide kecil-kecilan (ehehehe). Kami juga berkenalan dengan pengemudi angkot tersebut yang ternyata bernama Erik, dan tampaknya sempat tersinggung saat Mitra memanggilnya "Mang". Hwahahahaha!

"Jangan panggil Mang dong! Panggil : Erik aja. Hehehe..."
O-kayyyy!! :))

Erik pun menjadi teman baru kami selama berjalan-jalan di Ujung Genteng. :)

Sesampainya di Ujung Genteng, kesan pertama kami adalah : Wah walaupun daerah pantai, tapi anginnya sejuk! Kenapa bisa gitu ya?


Penginapan "Pondok Adi". Asri & bersih.

Di sana kami mencari penginapan dengan diantar Erik, beberapa penginapan (yang rata-rata memiliki nama dengan awalan kata "Pondok ...") sempat kami datangi untuk membandingkan rate. Akhirnya kami mendapatkan penginapan dengan harga Rp 200.000,- di Pondok Adi (normalnya Rp 350.000,-, kami dapat murah berkat hasil negosiasi yang gigih, hahaha), nama bungalow-nya "Cibuaya". Mini bungalow ini memiliki fasilitas 2 kamar tidur (4 bed), 1 kamar mandi, pantry kecil, dan ruang duduk + serambi. Saya menyarankan untuk menginap di Pondok Adi ini, walaupun tanpa AC, tapi kondisinya bersih & nyaman. Kamar mandinya baru! Hehehe... Dengan kilat, kami menaruh barang, ganti baju untuk kotor-kotoran, lalu langsung berangkat menuju Curug Cikaso.

Curug Cikaso
Air terjun yang tersembunyi di daerah lembah yang harus melewati sungai ini terletak 16 km dari Terminal Surade. Begitu sampai di Pos Wisata Curug Cikaso, kami menyewa sebuah perahu dengan harga Rp 50.000,- (normalnya Rp 60.000,-). Perahu ini berkapasitas 6 hingga 8 orang, sehingga termasuk relatif murah apabila dibagi 8 orang. Dari ujung sungai hingga ke Curug Cikaso hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit.

Selama perjalanan, pandangan mata kami dimanjakan oleh pemandangan alam yang breathtaking. Apalagi setelah melihat Curug Cikaso-nya! Airnya jernih banget! Dan kita bisa bermain air di sini. Oia, tips saya : Kalo mau melewati batu-batu sungai, harus hati-hati karena licin oleh lumutnya, saya sendiri sempat terjatuh di sana, hahahaha... :D



Pemandangan di Curug Cikaso, karena sedang musim hujan jadi debit airnya lagi banyak, jadi air terjunnya deraaaasssss! (Dan bagus untuk difoto!) :D

Pantai Ujung Genteng
Setelah puas bermain di Curug Cikaso, kami kembali ke daerah penginapan untuk melihat sunset. Tidak lupa kami janjian dengan Erik untuk mengantar pulang ke Surade esok paginya. Sebenarnya kami juga meminta tolong Erik supaya ia juga mengantar kami ke Pantai Pangumbahan, tempat penangkaran penyu di Ujung Genteng, untuk malam itu. Tapi tak disangka-sangka... Erik tidak mau mengantar kami ke sana pada malam hari, alasannya : karena dia mau malam mingguan! Hahahahaha!!

Katanya, "Wah buat apa cari duit mulu Mbak... Masa' waktu malam minggu juga repot cari duit." Nice philosophy, though. Hidup tuh bukan hanya untuk cari uang, have fun juga perlu! :))

Pantai di depan penginapan. Air lautnya jernih banget!

Penangkaran Penyu Pangumbahan
Setelah puas foto-foto sunset & makan malam di warung kecil yang tampaknya sudah tutup (mie rebus+telur, hehe), kami mencari ojek untuk mengantar kami ke Pantai Pangumbahan. Setelah mencoba mencari & tidak menemukan calon ojek yang terlihat qualified (he-he), kami memutuskan untuk bertanya kepada manajemen Pondok Adi. Di sana kami baru mengetahui bahwa tiap penginapan memiliki langganan ojek-nya masing-masing. Tarifnya PP Rp 40.000,- per-orang. Saran saya : lebih baik meminta tolong dicarikan ojek oleh pemilik penginapan DARIPADA mencoba mencari ojek sendiri, haha~! :D


Suasana saat penyu bertelur,
penyunya cuma satu, yang nonton buanyaakkk...

(20:30) Akhirnya kami dijemput sekitar 8 malam oleh ojek-ers. Dari sana kami menuju Pantai Pangumbahan dengan melewati jalan-jalan kecil dan gelap. Kondisi yang gelap ini memang dibutuhkan untuk sebuah tempat penangkaran penyu. Karena (katanya) penyu yang akan bertelur apabila melihat cahaya, ia akan enggan untuk bertelur dan akan kembali ke laut. Makanya kondisi jalanan memang gelap dan tidak dipasangi lampu sama sekali. Kalau bukan ojek yang terbiasa, saya kira pasti kami sudah tersesat. Jadi, lagi-lagi saran saya, minta pesankan ojek dari penginapan Anda untuk melihat penyu bertelur.

Sekitar 5-10 menit kemudian kami sampai di tempat penangkaran tersebut. Kami melihat dan menyentuh beberapa anak penyu yang akan dilepas esok paginya (sekitar jam 5 subuh). Seingat saya, petugas di sana sempat memberitahu bahwa untuk melihat penyu yang bertelur diperlukan kesabaran & ketelatenan, karena jadwal penyu bertelur biasanya antara jam 8 hingga jam 4 pagi, tidak tentu. Kami beruntung akhirnya kami bisa melihat penyu bertelur sekitar jam 10 malam. Kesan kami saat itu hanya satu, GELAAAPPP. Mitra & mbak Lisa sampai menyahut, bener-bener kaya jalan di mimpi saking gelapnya!

Di tempat penangkaran terdapat 6 pos penjagaan. Kebetulan penyu yang sedang bertelur itu ada di Pos 6, pos terjauh. Pasir di pantai ini amat tebal & halus (karena gelap jadi saya hanya bisa mengira-ngira), berulangkali kami tersandung oleh cekungan-cekungan pasir yang cukup dalam. Kami tertawa-tawa hingga sakit perut saat salah seorang di antara kami tersandung, karena saat itu kami saling bergandengan tangan, takut terpisah! Jadinya begitu jatuh satu, jatuh semua! Hayyah! :D

Saya baru tahu, ternyata walaupun saat penyu INGIN bertelur harus memiliki kondisi pantai yang bebas cahaya, namun saat penyu SEDANG bertelur, ternyata kondisi seperti apapun tidak berpengaruh baginya. Oleh karena itu, saat penyu SEDANG bertelur adalah saat yang tepat untuk memotret sang ibu penyu. Pantai yang gelap kini mulai dihujani kilatan blitz dari kamera-kamera penonton. Serasa paparazzi...

Setelah puas memotret sang ibu penyu, kami kembali ke penginapan. Bersih-bersih kemudian beristirahat untuk melihat matahari terbit esok paginya.

Oia... saat itu budget kami sudah mulai menipis sehingga kami memasukkan Rp 100.000,- lagi per-orang sebagai deposit.


Hari ke-3,
Minggu 8 November 2009

(05:00) Setelah sholat, dan tanpa mandi (hehe), kami langsung berangkat mencari sunrise. Karena kami tidak tahu mau kemana, jadilah kami jalan menuju matahari tanpa tahu tujuan. Hehehe... Ternyata setelah berjalan kaki cukup jauh, kami menemukan TPI (Tempat Pelelangan Ikan), dan sebuah pantai yang luassss dengan matahari terbitnya. Dari kejauhan terlihat banyak fotografer yang mencoba menangkap keindahan sang matahari yang baru terbangun dari tidurnya (hahaha, corny banget bahasanya!) Yassu, kita ikut-ikutan foto-foto lagi deh, hehehe...

Menuju matahari terbit, di pantai samping
Tempat Pelelangan Ikan
(TPI)


Kendaraan kami selama di Ujung Genteng.
"Angkot Merah si Erik". :D


(07:00-08:30) Balik ke penginapan, beres-beres, dan jam setengah 9 ternyata Erik sudah menjemput. Kami sempat ke Villa Amanda Ratu sekalian mengantar klien barunya Erik, dan kami menemukan "Mini Tanah Lot"! Hehehe...


Mini Tanah Lot di Villa Amanda Ratu

Sekitar 15 menit bermain di sana, kami langsung bertolak ke Surade. Sampai jumpa lagi ya Erik! :D Benar-benar guide yang sangat membantu, hehehe... Dari Surade, kami naik ELF Surade-Bogor menuju Terminal Degung, dari sana kami berempat berpisah. Mitra & mbak Lisa naik bus yang ke Pulogadung, saya & Hanny naik bus yang ke Lebak Bulus.

(18:00) Saya & Hanny akhirnya tiba di Jakarta sekitar maghrib. Dan berpisah menuju rumah masing-masing dengan baterei yang FULL-CHARGED! Senangnya liburan!! :D

Ujung Genteng is superb! Kami tidak sempat ke beberapa spot wisata lainnya, tapi pengalaman kami benar-benar amat sangat seru dan menyenangkan. Hitung-hitung sebagai latihan untuk jadi budget backpacker yang handal! Haha! :D

Sebagai catatan, total pengeluaran semua-muanya (termasuk akomodasi, transportasi, dan makan) = Rp 291.000,- untuk 3 hari 2 malam.

+ + + + +

Catatan Tambahan

Ini beberapa referensi untuk jalan-jalan ke Ujung Genteng, dan telah membantu kami selama perjalanan ke sana:

http://www.globosapiens.net/travel-information/Sukabumi-2946.html
http://arie-yantea.blogspot.com/2009/06/easy-trip-to-ujung-genteng-day-1.html
http://arie-yantea.blogspot.com/2009/06/easy-trip-to-ujung-genteng-day-2.html
http://ayowisata.wordpress.com/2008/06/20/wisata-alam-pantai-ujung-genteng-sukabumi/
http://www.anakui.com/2008/10/12/ujung-genteng-pesona-yang-penuh-misteri/

Hope helps! :)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting