Pantai, laut, dan matahari adalah tiga hal pertama yang terlintas dalam benak saya apabila mendengar kata "Bali". Pulau kecil di bagian timur Indonesia ini merupakan destinasi favorit para pelancong lokal maupun internasional, yang rata-rata memiliki tujuan untuk menghabiskan waktu liburan dengan berjemur, melakukan olahraga air, dan berpesta!
Namun tentu saja Bali tidak hanya memiliki pantai yang cantik, Bali juga memiliki pegunungan dan dataran tinggi yang indah. Oktober tahun lalu, saya dan tiga orang teman saya berkesempatan untuk berkeliling Bali dengan tujuan utama untuk mengeksplorasi bagian dataran tingginya.
Selama lima hari empat malam kami berencana untuk menginap di TuneHotels Legian, sebuah hotel yang dikelola oleh salah satu maskapai penerbangan asal Malaysia. Hotel ini saya rekomendasikan untuk para flashpacker karena standar fasilitasnya yang sekelas hotel berbintang namun dengan harga yang lebih ekonomis. Namun bagi backpacker sekelas saya, sepertinya hostel-hostel di sekitar Jalan Poppies dan Benesari sudah cukup nyaman dan lebih bersahabat untuk dompet Anda. Yeah, I'm so cheap... Terpaksa, karena tarif hotel di Bali rata-rata cukup mahal.
Titik keberangkatan kami bermula di Blok M, DAMRI menjadi pilihan moda transportasi kami untuk mencapai Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Cukup dengan Rp 20.000,- Anda akan tiba dengan nyaman dan selamat sentosa di terminal keberangkatan Anda.
Terminal 3 di Bandara Soe-Ta masih tampak lengang saat kami tiba. Saat ini memang hanya ada dua maskapai yang beroperasi di terminal paling lawas di bandara internasional tersebut. Oh ya, tips saya, bawa bekal dari rumah kalau kira-kira harus menunggu agak lama di bandara. Kenapa? Karenaaa, harga makanan di bandara berkali-kali lipat dari harga normal.
Akhirnya pesawat kami mendarat di Bali saat menjelang malam. Untuk mencapai hotel kami, taksi adalah satu-satunya pilihan karena tampaknya keberadaan kendaraan umum memang kurang umum di Bali, yang umum tersedia adalah sewa mobil atau sewa motor. Begitu mencapai terusan Jalan Legian, pengendara taksi kami menurunkan kami di gang depan hotel tersebut karena jalan masuk yang cukup sempit. Tapi cukup jalan kaki sedikit ke dalam, akhirnya kami tiba di TuneHotels! Yippy!
TuneHotels ini adalah salah satu budget hotel yang men-charge biaya kamar sesuai dengan fasilitas yang kita pesan, contohnya: handuk, AC, dan sebagainya. Dengan biaya sekitar Rp 400.000,- per orang untuk 4 malam, kami mendapatkan sarapan dan kredit AC 24 jam. Malam telah larut, sehingga kami segera bersiap-siap untuk beristirahat dan menyiapkan diri untuk jalan-jalan besok.
Hai kawan, saya kira Bali itu kecil. Ternyata luas banget, kawan!
Berhubung saya yang bertanggungjawab atas itinerary kami selama di sana, saya belajar bahwa ... Bali itu ternyata luas banget ya!! Saya kira bisa muter-muter Bali dalam waktu dua hari penuh, dan masih punya banyak waktu untuk bersantai-santai di hari-hari selanjutnya. Ternyata itinerary yang sudah saya buat itu rupanya agak ngerjain travel yang kami sewa, hehehe maaf yah, saya memang lemah dalam geografi...
Hari Pertama: Goa Gajah, Tampaksiring, Kintamani, Desa Adat Penglipuran, dan Tari Kecak
Tujuan utama kami hari itu adalah menyusuri Kintamani di Bali Timur, dengan Goa Gajah dan Pura Tirta Empul sebagai pemberhentian pertama. Untungnya cuaca hari itu tampak terik dan amat cerah, mendukung acara jalan-jalan kami yang cukup jauh.
Setelah menyelesaikan sarapan di Es Teler 77 —rupanya TuneHotels Bali bekerjasama dengan Es Teler 77 sebagai anchor restaurant-nya—, kami berangkat dari Legian pada pukul 9 pagi dan sekitar 45 menit kemudian kami tiba di Kompleks Goa Gajah.
TuneHotels Legian dan sarapan kami.
Foto (c) Herajeng Gustiayu, 2010
Kompleks Goa Gajah yang terletak di Desa Bedulu ini adalah sebuah kawasan yang memiliki sebuah gua dan sebuah area bekas tempat pemandian yang dibangun pada sekitar abad 11. Yang menarik dari Goa Gajah ini adalah ukiran pada mulut gua yang dipahat menyerupai kepala besar sebuah tokoh dengan mulut terbuka, di kedua sisi mulut gua terlihat dua patung yang seolah-olah menjaga gua tersebut. Begitu kami masuk ke dalam, tampak beberapa cerukan yang cukup dalam dan berjejer di dinding gua, rupanya cerukan tersebut adalah tempat bermeditasi para tokoh agama di jaman dahulu.
Goa Gajah dan area pemandian di depannya.
Foto (c) Herajeng Gustiayu, 2010
Pemandangan di sekeliling Pura Tirta Empul; Foto di kanan atas menunjukkan Istana Tampaksiring yang berdiri di puncak bukit.
Foto (c) Herajeng Gustiayu, 2010
Pemandian Tampaksiring.
Foto (c) Herajeng Gustiayu, 2010
Setelah puas berfoto, kami menyempatkan untuk mampir ke sebuah restoran di Kintamani sekaligus untuk menikmati pemandangan dari atas bukit. Udara sejuk pegunungan dan pemandangan Gunung Batur dan danaunya yang membentang indah di horizon benar-benar membuat kami malas bergerak dari kursi. Tadinya kami berencana untuk sekaligus ke Desa Trunyan, tapi mengingat hari sudah agak sore akhirnya destinasi kami beralih ke Desa Adat Penglipuran yang terletak di Kabupaten Bangli.
Gunung Batur dan danaunya.
Foto (c) Herajeng Gustiayu, 2010
Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli.
Foto (c) Herajeng Gustiayu, 2010
Bangunan rumah dan pura di Desa Adat Penglipuran.
Foto (c) Herajeng Gustiayu, 2010
Dari beberapa sumber yang saya temukan, kata "Penglipuran" diambil dari kata "Pengeling Pura" yang artinya tempat suci untuk mengenang para leluhur. Penataan fisik kawasan ini terlihat unik dan rapi dengan bagian depan rumah yang dibuat serupa satu sama lain, baik dalam hal fungsi, material, dan bentuk. Desa ini terletak di sebuah dataran tinggi dengan area utama berupa pura yang diletakkan di kontur tanah yang paling tinggi. Untuk memasuki kawasan ini dikenakan biaya Rp 11.000,- untuk rombongan kami, dan kita diharuskan berjalan kaki ke dalam kawasan karena kendaraan tidak diperbolehkan masuk.
Setelah puas berkeliling dan memotret Desa Adat Penglipuran, tak terasa perut kami kembali minta diisi. Pemandu kami mengusulkan untuk berhenti dahulu di Warung Ijo, di daerah Gianyar. Walaupun terlihat sederhana, tapi makanan di sini benar-benar memuaskan! Kami memesan 5 porsi nasi paket, yang isinya 1 ekor ikan bakar beserta sambalnya, sayur plecing, sate languan, bakso ikan laut, nasi putih, dan minuman. Semuanya hanya menghabiskan Rp 79.000,-! Kenyang, enak, dan relatif murah.
Makan siang kami di Warung Ijo, Gianyar.
Foto (c) Herajeng Gustiayu, 2010
Hari itu ditutup dengan mencari Tari Kecak! Karena Tari Kecak biasa diadakan pada saat menjelang matahari terbenam, kami segera bergegas menuju Batubulan, lokasi terdekat dari tempat kami saat itu. Pertunjukan akan segera dimulai saat kami menginjakkan kaki di Sahadewa, sebuah gedung kesenian yang mempertunjukkan berbagai jenis tarian khas Bali. Setelah membeli tiket seharga Rp 80.000,- per orang, kami segera masuk ke dalam bangunan dan mencari tempat duduk.
Tari Kecak di bangunan pertunjukan Sahadewa.
Foto (c) Herajeng Gustiayu, 2010
Tari Kecak Api, terlihat sang penari yang kerasukan roh dengan ganas menerobos api unggun di depannya.
Foto (c) Herajeng Gustiayu, 2010
Pertunjukan selama satu jam itu akhirnya selesai sudah, tak lupa kami meminta foto bersama para penari di panggung untuk kemudian melanjutkan jalan pulang ke hotel kami. (Saran saya, patut dicoba pula untuk menonton pertunjukan Tari Kecak di Pura Uluwatu saat matahari terbenam, karena lokasinya yang terletak di atas tebing membuat suasana mistis lebih terasa.)
Okeh, sekarang kami harus bersiap-siap untuk istirahat karena besok kami akan menjelajah ke Danau Beratan dan Pura Ayun di daerah Bali Utara...
Bersambung ke Bali, Tidak Hanya Pantai & Laut (Part-2) - coming soon!
Catatan penulis: Artikel di atas memiliki beberapa tautan dengan tujuan advertorial sebagai bentuk support terhadap situs TBN.
0 comments:
Post a Comment