Thursday, November 4, 2010

Perjalanan ke China: Hong Kong, Shanghai, Hangzhou (Part-2)

Posting tamu oleh : Dibya Kusyala





Catatan penulis: Tulisan ini merupakan bagian kedua dari perjalanan 3 kota di China pada awal bulan Juli 2010.

Menuju Shanghai

Kami keluar HK melalui jalur MTR ke arah Senzhen. Sebetulnya ada kesempatan setengah hari untuk melihat-lihat kota yang konon terkenal sebagai pusat belanja murah ini (karena sudah bagian dari China Daratan). Tapi kondisinya kurang memungkinkan karena orang-orang lokal kurang paham apabila kita ber-Bahasa Inggris.

Di sini semua signage menggunakan kanji. Dan pengumuman Bahasa Inggris pun terdengar kurang jelas. Daripada tertinggal jadwal kereta api, kami putuskan menunggu saja dalam stasiun. Beruntung ada Volunteer Expo Shanghai, seorang pelajar HK, yang menunjukkan arah platform kereta api kami. Juga ada informasi penting bahwa kereta api yang kita naiki nanti berhenti di Shanghai-Nan (Nan artinya selatan), yang merupakan stasiun kereta api kedua terbesar di Shanghai.

Di atas kereta api, saya tidur di kelas hard sleeper seorang diri. Lainnya beruntung kebagian soft sleeper (¥400-hard sleeper dan ¥600-soft sleeper). Untuk kelas hard sleeper, sepetak 1.5x2m diisi oleh 6 orang dengan 3 kompartemen di sisi kiri kanan. Mood saya untuk berbincang sudah habis setelah mendengar percakapan orang lokal yang tiada henti. Entah mereka saja atau memang budaya lokal yang kurang ramah, karena mereka sama sekali tak menyapa, bahkan melihat orang-orang asing yang ada dalam kereta api dengan tatapan waspada. Untungnya saya membawa buku Sudoku sehingga bisa mengisi perjalanan sambil sesekali melihat pemandangan di luar kereta. Lansekap kota-kota di China nampak sekilas lebar-lebar dan luas-luas. Warna-warna pastel tua dan material dengan warna tanah-matang mendominasi pemandangan sepanjang perjalanan.



Shanghai-Nan train station.

Foto (c) Dibya Kusyala, 2010

Shanghai-Nan, Stasiun Kereta Api Berskala Bandara

Setelah 23 jam lebih sedikit, akhirnya sampai juga di Stasiun Kereta Api Shanghai-Nan. Di sana saya cukup kaget dengan skala stasiunnya yang gigantis. Sekilas lebih mirip sebuah bandara daripada stasiun kereta api. Bangunannya bertingkat 4 dengan ruang tunggu yang besar mirip tempat boarding pesawat.

Di area tunggu ini juga terdapat taman-taman artifisial yang lumayan sukses meredam struktur logam exposed yang mendominasi tampilan interiornya. Sama juga semua tulisan dalam bahasa kanji. Customer Service untuk informasi yang bisa berbahasa Inggris pun hanya 1 dari puluhan loket yang berderet melayani orang yang terus berdesakan di sana-sini.

Jaringan transportasi publiknya ada 2: untuk kereta disebut Metro Line dan Metro Bus. Semua terkoneksi dengan baik, hanya sayangnya informasi dalam bahasa Inggris cenderung kurang sehingga kita terus bertanya ke bagian informasi. Itu juga baru dapat jawaban kalau si penjaganya bisa ber-Bahasa Inggris juga.

Dari stasiun ini menuju ke hotel bisa menggunakan Metro Line (Subway). Pagi saat kita datang adalah jam padat dimana pengguna berjejal hingga tak berjarak. Bahkan cenderung saling menekan dan teriakan-teriakan complain terdengar di kiri-kanan. Atuh lah... maap abdi ge teu teurang maneh teh nyarios naon...

Shanghai masih belum seheterogen HK, jadi banyak anak dan orang yang mencuri pandang ke arah kami. Mungkin ras Melanesia kurang familiar untuk obyek visual mereka. Cukup antik sehingga mengundang perhatian banyak orang. Tapi kita enjoy-geboy jadi pusat perhatian... *halah*



Yuyuan Garden.

Foto (c) Dibya Kusyala, 2010



Shanghai, Sang Surga Belanja

Shanghai merupakan titik ekonomi terkuat di China. Dan bagi penggemar fashion, Shanghai merupakan surga belanja barang berkualitas dan murah. Bisnis distro seperti di Bandungserta gerai merk-merk terkenal tersebar di sepanjang jalan. Harga sepertinya sudah disesuaikan dengan daya beli masyarakat China. Sudah serupa harga FO di Bandung lah. Kaos-kaos sekitar ¥50an, sedang yang polos ¥35an.



Untuk souvenir khas China dapat dibeli di sepanjang Nanjing Road (East Nanjing, West Nanjing, dan area People Square) atau di kawasan Yuyuan Garden. Stigma China yang kotor dan jorok tidak ditemui di kawasan ini. Jadi lumayan nyaman untuk jalan-jalan sambil melihat ruang-ruang kotanya yang ditata dengan pedestrian yang lega dan lebar-lebar.



Sleepy Pu Dong.

Foto (c) Dibya Kusyala, 2010

Berkeliling Shanghai

Di ujung Nanjing Road, terdapat kawasan The Bund yang sepertinya sengaja dikekalkan garis langitnya (sepanjang tepi air Sungai Dau Pu), dengan deretan bangunan kolonial. Sepanjang tepi Bund ini pula, sekarang terdapat ruang publik tepi air yang luas dan panjaangg untuk mengamati kawasan Pudong di seberangnya yang dibangun dengan agresif 15 tahun terakhir.

Pu Dong yang terletak di seberang The Bund merupakan garis langit Shanghai yang modern, yang secara visual mengundang banyak turis antar bangsa untuk datang dan melihat pesatnya pembangunan di China. Ada Oriental Pearl TV Tower, Jingmao Tower, Asia Financial Centre dan gedung-gedung lain. Nampak sangat kontras antara The Bund yang semiklasik dan Pu Dong yang modern. Keduanya dipisahkan Sungai Dau Pu yang lebar. Di atas sungai ini pula, berlalu lalang ferry, tongkang pengangkut peti kemas, dan kapal-kapal wisata yang saat malam berwarna-warni dengan neon di sepanjang badannya.

Kita bisa juga menuju ke area tengah CBD Pu Dong dengan Metro Line yang sama dengan area Nanjing (kalo ga salah Line 10). Metro Line benar-benar merupakan line terpadat karena sekitar 4 stasiunnya dikelilingi atraksi-atraksi menarik di pusat Shanghai.



The Bund around midnite.

Foto (c) Dibya Kusyala, 2010

Dari Shanghai ini pula lumayan dekat (30 menit menggunakan mobil) ke arah Suzhou yang beken setelah dijadikan setting film James Bond yang kejar-kejaran dengan boat di sungai-sungainya. Banyak yang bilang Suzhou ini Venesia-nya Asia. Sambil naik boat kita bisa lihat penjual teh dan pembuat mie ala China yang unik. Kedai-kedai sepanjang sungai ini pun diolah dengan desain ekletik (klasik China, modern, dan kontemporer). Juga terdapat Suzhou Museum yang didesain oleh IM Pei yang sengaja menangkap siluet perkampungan China. Namun diolah kembali menggunakan kosakata modern yang didominasi oleh bentuk geometris segitiga dan petak dengan warna putih-kelabu.

Atraksi menarik lainnya di Suzhou adalah keliling kota menggunakan boat tradisional atau becak dengan harga ¥30 untuk berdua selama setengah hari. Di banyak titik, gang-gang ruko lama sudah dikembangkan menjadi pedestrian mall yang leluasa dengan menghilangkan pagar-pagar pembatas. Kemudian merancangnya kembali menggunakan vegetasi dan tempat-tempat peristirahatan sepanjang jalur laluan orang. Desain ruko-ruko sepanjang pedestrian ini pula direkonstruksi lagi menonjolkan desain-kontemporer atau beberapa masih mengekalkan arsitektur tradisional China dengan warna-warna matang dan sambungan-sambungan yang rumit. Sangat unik, dan perencananya seperti paham dengan potensi arsitektur setempat sebagai bagian daya tarik wisata.



Ingin bepergian ke Shanghai?

  1. VISA. Sebelum pergi perlu disiapkan dulu pengurusan Visa kunjungan ke China Dokumen Visa ini bisa diurus di lembaga yang ditunjuk kedubes China yang bekerja sama dengan Bank of China. Di Jakarta kalau tidak salah ada di daerah Kuningan. Bayarnya beda-beda tergantung proses pengurusan (reguler 4 hari/ekspres 1 hari/super ekspres dalam hitungan jam) juga jumlah keluar masuk China dalam 1 period tertentu (single entry/double entry/multiple entry within a year/multiple entry within 2 years). Biayanya untuk yang paling ekonomis sekitar Rp 300.000,- dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang menjadi persyaratannya. Tidak perlu pakai calo deh, bisa ngurus sendiri kok. Sekalian belajar mengajukan visa kalo mau bepergian ke negara lain lagi.



  2. HOTEL. Selama di Shanghai kami tinggal di Blue Mountain Expo Youth Hostel . Dipilih karena memang deket dari venue World Expo di deket Dau Pu River. Di hostel ini pula dekat dengan exit gate Metro Line 4 (Luban Road Station) yang terkoneksi dengan semua jaringan metro di seluruh penjuru Shanghai. Jadi kemana-mana cukup mudah. Harganya pula sangat murah, sekitar Rp 120.000,-/bed/malam untuk tipe Dorm. Di sepanjang jalan menuju Blue Mountain ini kita bisa temukan penjual buah (untuk makanan yang pasti halal), dan aktivitas harian warga yang unik, kalo petang ada sekumpulan orang-orang tua yang belajar Tango dan Salsa di ruang-ruang publiknya, dekat juga dengan Pasar Luban Road yang kalau pagi bertebaran atraksi membuat makanan khas China. Ada yang bikin Bakpao, makanan ala martabak, onde-onde dan kegiatan menarik lainnya.



  3. TRANSPORTASI. Di Shanghai, tidak ada kartu multiple travel semacam Octopus Card (HK), jadi belinya ketengan per trayek. Ada multiple trip tapi hanya untuk 1 hari saja (¥80). Itu terhitung mahal karena sekali pergi harganya sekitar ¥3-4. Masih mending pake single travel ticket kayaknya. Hampir semua atraksi kunjungan boleh diakses menggunakan Metro Line ini, jadi sangat memudahkan tinggal liat brosur wisata dan cek stasiun Metro terdekat, murah dan mudah. Jaringan Metro ini jauh lebih kompleks dibanding di HK, kalo tidak salah ada belasan line yang terkoneksi satu dengan yang lain. sebelum naik Metro sebaiknya dipelajari jarak terdekat, karena saat berpindah stasiunnya besar banget. Lumayan exercise untuk berpindah dari 1 line ke line lain.



  4. MAKAN. Di Shanghai komunitas muslim terbatas, entah sedikit atau banyak karena selama di sana belum menemukan masjid, juga makanan yang dinyatakan halal. Jadinya seringnya makan buah. Leci dan apel lumayan standar. Cherry merah juga sangat murah. Untuk pilihan nasi kami membeli Nori (sejenis nasi Jepang yang dibungkus lembaran rumput laut dengan isi tuna-sardine), seharga ¥2 (atau Rp 2.000,-/bungkusnya). Tapi konon ada yang bilang makanan halal tersedia di sekitar People Square, di situ pula ada masjid dan komunitas muslim Shanghai.



Penutup


Menurut saya, Shanghai adalah kota yang cukup menarik untuk dikunjungi. Konon ada dosen di Bandung yang bercerita bahwa kota-kota besar di China dibuat dengan sangat metropolis untuk dijadikan show-case bahwa sistem komunis pun bisa berhasil dalam pembangunan. Wallahualam bissawab.

Yang menyenangkan adalah semua serba murah serta atraksi kotanya sangat banyak untuk dieksplor, baik dari peninggalan China klasik, masa pembangunan, sampai kawasan modernnya. Apalagi di Shanghai terdapat beragam pilihan transportasi publik yang bisa kita gunakan. Walaupun dalam Lonely Planet China disebutkan "Comfortness on public transport is a dream in Shanghai", namun saya kurang setuju. Meski pada peak hour iya, namun setidaknya pemerintah Shanghai serius membangun infrastruktur transportasi sehingga warga memiliki pilihan untuk bepergian.

Bersambung ke Perjalanan ke China: Hong Kong, Shanghai, Hangzhou (Part-3)


Profil Kontributor

Dibya, teman saya, adalah pecinta jalan-jalan yang kini bekerja sebagai lecturer di Kuantan, Malaysia. Profesi ini secara tidak langsung memberikannya banyak waktu untuk berjalan-jalan. Untuk tahun 2010, ia sudah menjadwalkan hari-harinya untuk agenda jalan-jalan sepanjang tahun (dengan berburu tiket pesawat promo murmer). Tulisan-tulisan Dibya lainnya dapat diikuti di Dibya Kusyala's Notes.



0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting