Monday, November 30, 2009

Berwisata Sejarah di Kota Tua Banten Lama

UPDATE - Posting ini sempat muncul di situs indobackpacker.com
pada tanggal 19 Juni 2010


Titik-titik air hujan mulai menampar kaca mobil saat kami mencapai kawasan Banten Lama, setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam dari Jakarta, 11 km dari pintu tol Serang Timur. Awan tebal berwarna abu-abu terlihat menggantung di langit. Seluruh penumpang di dalam mobil yang berjumlah delapan orang mengeluh dan berdoa agar hujan tidak menjadi semakin lebat.


Ini adalah perjalanan jauh pertama kami secara bersama-sama, setelah beberapa tahun yang lalu berpisah dari satu rumah kost yang sama di Bandung, saat satu persatu telah selesai menjalani masa perkuliahannya masing-masing.

Awalnya...
Rencana menjelajahi sisa kejayaan Kerajaan Islam Banten ini muncul saat kami berdiskusi, enaknya jalan-jalan selanjutnya ke mana ya? Dari browsing internet, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi situs ini, yang terletak relatif tidak jauh dari kota Jakarta, sehingga perjalanan dapat dilakukan sehari penuh tanpa perlu menginap. Lucunya, saat mendekati hari H satu persatu peserta berguguran karena acara mendadak dan lain sebagainya. Namun pada hari H-1, semua akhirnya menyanggupi untuk mengikuti tur kecil-kecilan tersebut karena ada pasangan muda yang mau mensponsori transportasi. *Thanks CiKi!* :))

Akhirnya pada tanggal 28 November 2009 lalu kami merealisasikan rencana tersebut. :) Kami berangkat dari Jakarta sekitar jam 09:00 (yang rencana awalnya jam 07:00, hehehe), dan tak terasa sekitar dua jam telah kami lewati untuk mencapai Banten Lama. Gerimis sempat datang sebentar saat kami tiba dan berpotensi mengacaukan acara jalan-jalan kami, namun tak terlalu kami hiraukan, walaupun membuat kami sedikit resah.



Perjalanan Menuju Banten Lama - Sempat deg-deg-an
karena gerimis sempat datang saat kami tiba dan
berpotensi mengacaukan acara jalan-jalan kami

(11:00) Setelah kami memarkir mobil di area parkir yang dikelilingi warung-warung kecil, kami menuju Benteng Keraton Surosowan. Dinding benteng dengan konstruksi batu bata merah dengan campuran kapur itu terlihat megah, rupanya ia masih menyimpan sisa-sisa kejayaan masa lampau. Situs ini dikelilingi oleh pasar yang dikelola oleh penduduk, sehingga kami harus berputar-putar dahulu untuk mencari gerbang masuk ke dalam benteng tersebut. Rentetan keluh kesah mulai bermunculan lagi saat kami mendapati gerbang besi ke dalam benteng tersebut terkunci!

Tak hilang akal, setelah melihat beberapa orang penduduk memanjat dinding benteng tersebut, salah seorang di antara kami pun turut memanjat. "Wah isi dalam bentengnya bagus!", serunya setelah berhasil mencapai atas dinding benteng. Tapi sisa dari rombongan pun hanya tersenyum simpul, karena meragukan kemampuan masing-masing dalam "pemanjatan ilegal" tersebut, hehehe...

Awan kelabu terlihat semakin kelabu, sehingga salah seorang teman lainnya mengusulkan untuk melihat-lihat dahulu ke dalam Museum Kepurbakalaan Banten Lama, yang terletak tepat di depan Benteng Surosowan, sekaligus mencari guide yang mungkin dapat membantu kami dalam menjelaskan sejarah peninggalan Kerajaan Islam Banten tersebut.

Museum Kepurbakalaan Banten Lama
Tarif masuk ke dalam museum hanya Rp 1000,- per orang. Di museum ini kami berkenalan dengan Pak Slamet, yang selanjutnya menjadi teman perjalanan kami dalam menyusuri jejak sejarah Kerajaan Islam Banten. Pak Slamet sebagai guide dengan sabar menjelaskan secara rinci sejarah Kerajaan Islam Banten dengan menunjukkan foto-foto dan alat peraga yang terdapat di dalam museum.



Museum Kepurbakalaan Banten Lama - Sayangnya kurang terawat...

Karena bawaan saya yang selalu tidak dapat berkonsentrasi apabila dijelaskan secara lisan tanpa alat peraga visual, saya dengan gelisah menatap ke sekeliling, dan merasa agak kecewa karena museum tersebut tampak kurang menggugah dan kurang menarik. Benda-benda sejarah yang dipajang tampak berdebu dan terlihat kurang terawat. Seorang teman berceletuk, seharusnya museum ini dapat dijadikan lebih menarik apabila dibuat semacam alat peraga visual yang menjelaskan secara jelas beserta bukti otentik mengenai wujud bangunan keraton pada masa itu. Saya setuju. Hehehe...

Namun dari beberapa sumber yang telah saya baca, ternyata memang sejarah Kerajaan Islam Banten sejak abad 16 hingga abad 19 belum terkuak secara detail hingga saat ini. Potongan-potongan sejarah Kerjaan Islam Banten masih ditelusuri dan dikumpulkan oleh para sejarawan sampai detik ini.

Tapi secara keseluruhan, setidaknya museum tersebut telah memberikan gambaran secara garis besar akan sejarah dan kehidupan sehari-hari penduduk Kerajaan Islam Banten pada masa silam.

Hot Tips: Pihak museum menawarkan semacam paket tur arkeologi, sekitar Rp 100.000 - 150.000,- untuk maksimal 10 orang. Nanti kita akan diajari cara mencari dan menggali sebuah situs sampai cara mendokumentasi artefak yang ditemukan.

Situs Keraton Surosowan
Tak terasa akhirnya tur di dalam museum berakhir. Sekarang saatnya tur yang sesungguhnya! Keluar dari museum secara reflek saya langsung mendongak ke arah langit dan takjub mendapati awan kelabu mulai bergerak ke arah barat. Langit biru mulai terlihat di balik awan mendung. Karena habis gerimis, angin terasa lebih sejuk dibandingkan saat kami baru datang. Dengan sumringah kami menuju Benteng Surosowan. Dan ternyata Pak Slamet dititipi kunci oleh penjaga museum, dan akhirnya kami pun berhasil masuk ke dalam benteng! Yippy!


Situs Keraton Surosowan - Dulunya tempat tinggal
para sultan Banten yang dibangun pada tahun 1552

Begitu gerbang dibuka, kami melihat sisa reruntuhan Keraton Surosowan di dalam benteng. Walaupun berupa reruntuhan, tumpukan batu bata merah dan batu karang tersebut masih tampak membentuk sebuah bangunan keraton.

Dari beberapa sumber, disebutkan bahwa reruntuhan keraton seluas sekitar 3,5 hektar ini dulunya merupakan tempat tinggal para sultan Banten yang dibangun pada tahun 1552. Pada tahun 1680, benteng ini dihancurkan Belanda akibat peperangan antara Kerajaan Banten dan penjajah Belanda, pada saat itu Kerajaan Islam Banten berada di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Keraton ini sempat diperbaiki namun kemudian dihancurkan kembali pada tahun 1813, karena pada saat itu sultan terakhir Kerajaan Islam Banten, Sultan Rafiudin, tak mau tunduk kepada Belanda.

Menurut Pak Slamet, dulu situs ini hanya tertutup gundukan tanah, hingga kemudian mulai digali dan dipugar kembali pada sekitar tahun 1970-an. Hingga kemudian perlahan-lahan tampak sisa-sisa reruntuhan keraton tersebut.

Bakar Apa Sih??
Ada cerita lucu (atau lebih tepatnya ANEH) tentang situs ini. Pertamanya sih kami berombongan mengamati ada seorang pria berusia sekitar 20-an sedang duduk di rumput, membakar sesuatu. Salah seorang di antara kami langsung menyadari bahwa yang dibakarnya adalah ... (maaf) tumpukan celana dalam pria! Astagaaa! :(

Setelah bertanya-tanya ke Pak Slamet, ternyata salah satu alasan gerbang keraton dikunci, selain agar situs tetap bersih dari sampah, adalah karena pada malam hari banyak penduduk atau wisatawan lokal yang suka memanjat ke dalam benteng, dan ..... berbuat XXX (sensor) di dalamnya. Yaiks! Kenapa kok pake ninggalin CD sih?? Aneh banget. Pantesan dikunciii... :(


Masjid Agung Banten
Setelah makan siang di warung dekat museum, kami mampir ke Masjid Agung Banten untuk sholat. Terlihat berbagai macam pedagang yang bebas berjualan di dalam masjid. Dan di sini berulangkali kami dimintai sumbangan "tak resmi", sedikit-sedikit harus bayar. Benar-benar mengganggu kenyamanan para pengunjung yang ingin beribadah.

Situs Istana Keraton Kaibon
(14:30) Selesai dari masjid, kami bertolak ke sisa peninggalan Istana Kaibon, tempat tinggal Ratu Aisyah, ibunda Sultan Syaifudin. Reruntuhan ini masih terlihat (agak) lengkap membentuk sebuah istana keraton. Di samping istana ini terdapat kanal dan pepohonan besar, saya bayangkan pasti dahulunya istana ini bagus dan indah sekali. Namun lagi-lagi, istana ini pun dihancurkan oleh Belanda pada tahun 1832, akibat peperangan antara Kerajaan Banten dan Belanda pada saat itu.


Istana Kaibon - sisa reruntuhan kediaman
Ratu Aisyah, ibunda Sultan Syaifudin

Vihara Avalokitesvara
Tujuan selanjutnya adalah ke Vihara Avalokitesvara. Menurut salah satu sumber, vihara ini merupakan salah satu vihara tertua di Indonesia. Saya jadi merenung, apabila di dalam sebuah kerajaan Islam saja dapat berdiri sebuah vihara, tentunya keberadaan vihara ini merupakan bukti bahwa pada saat itu penganut agama yang berbeda dapat hidup berdampingan dengan damai tanpa konflik yang berarti. Sungguh menarik.

Vihara Avalokitesvara

Di dalam vihara ini sendiri terasa sejuk karena banyak pepohonan rindang, dan terdapat tempat duduk yang nyaman untuk beristirahat. Pak Slamet bercerita bahwa di selasar koridor vihara yang menghubungkan bangunan satu dengan yang lainnya ini terdapat relief cerita hikayat Ular Putih, yang dilukis dengan berwarna-warni sebagai elemen estetis.

Benteng Spellwijk
Puas berkeliling di dalam vihara, kami menuju benteng Spellwijk yang terletak tepat di depan vihara ini. Dan di depan vihara ini pula terdapat kedai es kelapa muda yang menggiurkan, sayangnya kami tak sempat mencicipi karena terdesak oleh waktu.


Benteng Spellwijk - sekarang jadi lapangan bola
dan tempat kambing cari rumput, hehehe..


Dahulunya Benteng Spellwijk digunakan sebagai menara pemantau yang berhadapan langsung ke Selat Sunda dan sekaligus berfungsi sebagai penyimpanan meriam-meriam serta alat pertahanan lainnya, namun pada saat ini digunakan hanya sebagai lapangan bola oleh para penduduk. Di sana kami diajak Pak Slamet untuk masuk dan mengamati sebuah terowongan yang katanya terhubung dengan Keraton Surosowan.

Di dalam kawasan benteng ini kami harus berjalan dengan hati-hati, karena terdapat banyak "peninggalan" kambing-kambing ternak yang dibiarkan bebas merumput di sana. Huhuhuhu...

Menara Pacinan Tinggi
(16:30) Tak terasa hari sudah sore, kami pun bersiap-siap menuju Jakarta kembali dengan pemberhentian terakhir Menara Pacinan Tinggi. Dahulunya ini adalah kawasan Masjid Pacinan Tinggi, namun saat ini hanya tersisa menaranya saja. Kami hanya mengamati menara tersebut dari dalam mobil karena sudah capai berjalan-jalan.


(kiri) Pak Slamet - Tour guide kami yang sabar bangett! :D
(kanan) Menara Pacinan Tinggi


Saat tur Banten Lama ini secara resmi berakhir, kami mengucapkan salam perpisahan serta tak lupa memberikan imbalan jasa kepada Pak Slamet yang telah bersabar menjelaskan sejarah Kerajaan Islam Banten kepada kami (yang kebanyakan tidak sabar mendengarkan dan malah sibuk foto-foto! Hehehehe...) Makasih banyak ya Pak! :)

Huhuy! Banten Lama benar-benar sukses menyegarkan otak kami saat liburan panjang kali ini. What a great trip!

OK, sekarang kita pulang ke Jakarta untuk nonton New Moon bareng-bareng di Setiabudi! Hahaha! :D

+ + + + +

Catatan Tambahan
(1) Buat yang suka fotografi, di sini banyak spot seru buat foto-foto & prewed.
(2) Untuk cerita mengenai sejarah Banten & referensi jalan-jalan yang lebih lengkap, bisa coba dilihat di sini:

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting