Wednesday, August 17, 2011

Perjalanan ke China: Hong Kong, Shanghai, Hangzhou (Part-3)

Posting tamu oleh : Dibya Kusyala



Sambungan dari Perjalanan ke China: Hong Kong, Shanghai, Hangzhou (Part-2)



Catatan penulis: Tulisan ini merupakan bagian ketiga (akhir) dari perjalanan 3 kota di China pada awal bulan Juli 2010.



Selamat Datang di Hangzhou

Sampailah pada kota terakhir kunjungan kami, Hangzhou, kota yang tak pernah kami dengar sebelumnya. Mau tak mau kami harus pergi, karena budget flight yang kami gunakan akan berangkat dari bandara Hangzhou.



Karena tak ada informasi yang dipunyai, kami pun berniat untuk transit saja, dan waktu yang kami luangkan juga sangat minim (tak sampai 24 jam sebelum jadwal penerbangan balik). Berangkat lagi dari Shanghai-Nan, kami menaiki bullet train (¥54) ala China yang murah meriah tapi tetap bisa diandalkan kecepatannya. Meski tampilannya jauh lebih modern, tapi kereta ini memiliki layanan yang sama dengan kereta Parahyangan Bandung-Jakarta tempo doeloe, yaitu menjual tiket berdiri! Kami cukup bergembira mendapatkannya, mengingat lautan manusia beratur di depan loket penjualan tiket ke Hangzhou berdesakan dan berebut antrian tanpa nilai kesopanan dan peri-keantrian.



Satu jam 18 menit kemudian kami sukses berdiri menempuh jarak 180 km sambil menjaga semua koper yang kami punya. Koper-koper pun sudah beranak cucu berisi belanjaan dari HK dan Shanghai. Keuangan juga menipis ditandai dengan tersisanya recehan dan pecahan Yuan dalam bentuk sepuluhan dan satuan yang boleh dihitung dengan jari. Lengkap sudah…



Impresi pertama saat kita datang kurang menyenangkan. Belum lagi keluar dari stasiun Hangzhou yang cahayanya remang-remang, kami sudah masuk dalam antrian yang panjang selama 1 jam untuk mendapatkan taksi. Orang yang antri awal-awal pun ada yang berkelahi untuk masuk dalam taksi yang datang satu-dua. Di tengah antrian mendapatkan taksi ini, ada mbak-mbak sales provider yang penuh semangat menawarkan produknya. Dengan bersimbah peluh, kami pun mendapatkan taksi (¥15) juga akhirnya.



Pada malam hari jalanan sangat gelap, sepanjang jalan kami hanya melihat siluet pepohonan. Arsitektur sepanjang jalan juga didominasi bangunan bergaya China klasik yang tertutup rapat di bagian eksteriornya.



Akhirnya kami sampai juga di West Lake Hostel, hostel yang telah kami pesan. Lobby-nya dipenuhi dengan perabot kayu bergaya klasik dengan penerangan lampion merah-kuning-oranye. Di lobi hostel ini, kita bisa memesan teh seduh melati, teh hijau, teh merah, teh bunga dan makanan setempat dengan penyajian khas China. Hostelnya sangat direkomendasikan karena bersih-unik-murah, 1 bed tipe dorm berharga ¥40 saja!





(Kiri) West Lake Hostel; (Kanan) Ruang publik di tepian West Lake.

Foto (c) Dibya Kusyala, 2010



Obyek yang nampak pertama kali ketika kami bangun pagi adalah sebuah kuil di atas bukit. Konon di kuil ini adalah tempat berpisahnya Ular Hijau dengan Ular Putih (jd inget Legenda Siluman Ular Putih di TV tahun 90-an). Di kaki bukitnya membentang West Lake yang luasnya sekitar 10 kali lapangan bola. Pepohonan di sekitarnya sangat rimbun. Taksi pun menyusuri jalanan di tepian West Lake. Nampak taman-taman China yang lengkap dengan jembatan setengah lingkaran, gasibu dan pedestrian apung di tepi danau yang terkoneksi dengan jogging track yang membelah danau hampir tepat di tengah-tengah. Orang beramai mengelilingi danau dengan bersepeda dan berlari serta berjalan bersama keluarga. Sepeda ini dipinjamkan dengan uang jaminan yang dikembalikan bila sepeda sudah selesai digunakan.



Di tepian West Lake Road pula terdapat resto-resto yang desainnya menyatu dengan taman2 yang besar jarak antar bangunan yang cukup jauh ditata dengan tanaman dan landscape yang menarik. Taksi menuju daerah ini lumayan murah, hanya ¥15 saja.



Saatnya Belanja (Lagi)!

Taksi pun menuju Women Fashion Street. Suasananya mirip dengan Kemang di Jakarta Selatan. Butik-butik dengan desain bangunan unik tertata dengan rapi sebagai podium deret bangunan flat yang rata-rata berketinggian 8-10 lantai di sepanjang tepian jalan. Pohon maple dan tempat duduk berbaris rapi di sepanjang trotoar. Beberapa titik dilengkapi dengan pot-pot bunga warna-warni. Sayangnya harga baju di area ini cukup mahal (kisaran di atas ¥200an). Jadinya kami memilih untuk melanjutkan pada titik berikutnya. namun demikian sempat melihat gang-gangnya. Hampir mirip perkampungan kota di Jakarta dan Bandung dengan lot yang berserak tak beraturan, tapi lingkungannya bersih dan tertata dengan baik, sampai kedai di gang-gang ini pun tetap menjual baju dengan harga relatif mahal.





Women Fashion Street.

Foto (c) Dibya Kusyala, 2010



Berbekal flyer wisata dan peta lembaran yang dibeli seharga ¥8, kami menuju Silk Street. Konon jalan inilah yang menjadi sumber dari sejarah besar Silk Road di China yang kemudian diperdagangkan hingga ke Timur Tengah dan memakmurkan jual beli di sepanjang laluannya. Di sana kami temui beragam olahan baju dari sutera. Tempat berjualan dan koridor ditata dengan setting rumah toko khas China klasik. Beberapa art work berupa patung bertema industri sutera dipasang di sepanjang jalan. Semua barang bisa ditawar. Barang dagangannya pun beragam. Dari yang murah meriah untuk souvenir hingga butik-butik mahal yang nilainya ribuan Yuan.





Silk Street.

Foto (c) Dibya Kusyala, 2010



Berdasarkan flyer wisata itu pula kami melanjutkan ke Pasar Sou Ji Qing yang dikenal sebagai Fashion Market. Pilihan desain bajunya beragam dengan harga yang sangat murah. Barang-barangnya mirip yang di Mangga Dua digelar dengan harga sepertiganya di sini. Pasar ini menjadi rujukan tukang kulakan mungkin, karena harganya memang sangat murah, harga wholesale atau kodian lebih miring lagi membuat beberapa dari kami menderita stress ringan gara-gara kondisi keuangan yang menipis. Sedang hasrat berbelanjanya terlampau besar. Disarankan untuk yang mau berjalan-jalan di China untuk menyiapkan Renmimbi/Yuan dalam jumlah yang cukup karena mata uang luar bahkan USD pun ditukar dengan harga yang sangat murah di sana. Bahkan Rupiah dan Ringgit tak diterima oleh Bank of China sekalipun. :(



Dengan kondisi keuangan yang siap untuk dinyatakan bangkrut, kami menuju Qinghefang Historical Street yang membuat kami makin menderita. Di jalan ini semua barang khas China dijual sangat murah. Barang-barangnya pun sangat unik. Di sepanjang jalan ini kami temukan banyak orang yang mengenakan baju-baju klasik China. Unik pernik dengan tema sosialis, Mau Tse Tung, seragam-seragam tua (saat jaman susahnya China) dijual dengan sangat murah. Notebook dan t-shirt vintage dijual hanya ¥10-20an.





Qinghefang Historical Street.

Foto (c) Dibya Kusyala, 2010



Hangzhou, Kota Pariwisata Terbaik di China

Supaya lebih tenang, kami pun balik ke hostel dan memilih berjalan-jalan di sekitar West Lake menikmati ruang-ruang publik yang dibangun dengan desain klasik China. Sepertinya ajang Olimpiade dan World Expo digelar untuk mengundang turis antara bangsa datang ke kota-kota China. Beberapa anak kecil yang kami temui dengan bahasa inggris yang cadel menyapa, "Welcome to China, Sir!" Hehe..



Kami pun dengan cepat menyukai Hangzhou lebih dari kesukaan kami akan modernnya HK dan riuh-rendahnya Shanghai. Satu keputusan yang sepertinya salah, dengan hanya transit di kota yang kemudian kami tahu adalah kota pariwisata terbaik di China ini, itu juga kita baca dari satu billboard besar di tengah kota, entah versi siapa...



Karena waktu yang sangat terbatas, kami harus balik hotel dan berkemas untuk pulang. Hostel menyediakan pengantaran ke Bandara dengan harga ¥100 untuk 3 orang. Kami pikir dekat saja, ternyata jauhnya lumayan, 20km-an, dan sepanjang jalan itu kami temui beberapa gedung tinggi dan jalanan-jalanan besar mirip Sudirman-Thamrin di Jakarta, jembatan-jembatan baja dengan 3-4 lajur per jalurnya, tepian sungai besar yang didesain dengan ruang publik tepi air yang rindang dengan pepohonan. Bangunan hunian berketinggian sedang (8 lantai) ada di sana-sini.



Rupanya China betul-betul giat membangun, kota kecil dan besarnya nampak direncanakan cukup baik. Budayanya yang kuat dikemas sehingga siap menghadapi globalitas. Ruang-ruang kunjungan wisata dikemas dengan menarik. Dan yang paling menguntungkan adalah produk-produknya yang bagus, murah, dan fungsional. Sekedar mengingatkan, hati-hati kalau sedang antri, karena warga setempat ada kebiasaan menyerobot.



Pengalaman yang menarik untuk mengingatkan kita supaya lebih bekerja keras seperti mereka. Anak kecil, kaum muda dan orang tua hampir semua nampak aktif. :)



Tips Berjalan-jalan di Hangzhou:

  • TRANSPORT - Kemana-mana disarankan menggunakan taksi karena murah.
  • HOSTEL - Banyak hotel dan hostel sepanjang tepi West Lake, terjangkau dan pemandangannya sangat bagus.
  • TUKAR UANG - Disarankan membawa Renmimbi/Yuan yang cukup, karena nilai tukar USD sangat rendah. Money Changer dilayani oleh jaringan Bank of China yang tidak menerima Rp atau MYR. (1 Yuan setara Rp.1000)
  • BAGASI - Siapkan tas untuk belanjaan, terutama baju dan tekstil.



Profil Kontributor

Dibya, teman saya, adalah pecinta jalan-jalan yang kini berprofesi sebagai lecturer di Kuantan, Malaysia. Profesi ini secara tidak langsung memberikannya banyak waktu untuk berjalan-jalan. Setiap tahunnya, jadwalnya pasti sudah penuh dengan agenda jalan-jalan. Tulisan-tulisan Dibya lainnya dapat diikuti di Dibya Kusyala's Notes.





0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting