Showing posts with label Surabaya. Show all posts
Showing posts with label Surabaya. Show all posts

Saturday, April 17, 2010

East Java Trip : Journey to Surabaya - Sidoarjo - Sempu - Bromo - Malang - Batu (Part-2)

Posting tamu oleh : Effendy Siawira

Sambungan dari East Java Trip : Journey to Surabaya - Sidoarjo - Sempu - Bromo - Malang - Batu (Part-1)

Hari ke-2 : Lumpur Lapindo Sidoarjo dan Pulau Sempu
Hari kedua merupakan perjalanan yang sangat panjang, oleh karena itu jam 5 subuh sudah dimulai antrian mandi. Pukul 06.30 WIB kami telah mendapatkan tempat sarapan yang enak di G-Walk, salah satu bagian dari Ciputraland.

Makanan khas Medan yang dijual di Surabaya ini yang menjadi pilihan kami: nasi campur dan lontong sayur. Maknyusss dengan harga Rp 12.000/porsi sudah memberikan kepuasan tersendiri bagi perut kami.


Menu Sarapan Kami: Nasi Campur dan Lontong Sayur.

Foto (c) Effendy Siawira, 2009


Pukul 8 pagi, dengan Innova yang berisi 9 orang (including supir), perjalanan pun dimulai dari kota Surabaya. Melalui jalan tol Porong, kami sempat singgah sebentar di bendungan lumpur Lapindo atau yang sering disebut sebagai Lusi (Lumpur Sidoarjo).

Di sekeliling jalan terdapat bendungan tinggi yang berfungsi untuk membendung si lumpur. Ternyata bencana ini tidak menghilangkan ide dari penduduk setempat untuk berbisnis. Beberapa spot di sepanjang bendungan, dibangunlah tangga-tangga dari bambu untuk menuju puncak bendungan. Sekali naik dikenakan tarif Rp 3000/orang.

Sejauh mata memandang, yang terlihat cuma lumpur, asap dan atap pabrik yang sudah tertimbun. Kami ditawarkan oleh warga di sana untuk menuju pusat semburan dengan ojek yang +/-10 menit dari tempat kami berdiri sekarang dengan harga Rp 15.000/ojek. Mengingat rencana perjalanan kami masih panjang untuk hari ini, maka kami memutuskan untuk langsung berangkat lagi.

Perjalanan terus berlanjut ke arah Selatan dengan melewati Kota Lawang. Sepanjang perjalanan kami tidak bermaksud untuk makan siang --dengan PD-- karena yakin akan menemukan tempat makan di lokasi tujuan.

Pukul 12 tepat, kami sampai di Sendang Biru. Sungguh bagus pemandangannya. Sesuai dengan namanya, air di tempat itu bener-bener biru. Di seberang posisi tempat saya berdiri ini ada satu pulau yang dinamakan Pulau Sempu. Pulau kecil ini terletak terpisah dengan Pulau Jawa.

Sempu Map
Lokasi Sendang Biru, Teluk Semut, dan Segara Anakan.
Foto (c) Effendy Siawira, 2009

Perut mulai minta jatah, mengintai ke kiri dan kanan dengan gaya “monkey king” --hehe, lebay-- Kami tidak menemukan adanya tanda-tanda restoran disini. Akhirnya ketemu satu warung kecil di pintu masuk, dan ternyaaataaa… warung itu juga tidak ada makanan, yang ada cuma indomie. Ya sutralah, akhirnya pesan indomie pake telur.


Pantai Sendang Biru, Jawa Timur.
Foto (c) Effendy Siawira, 2009

Selesai makan, kami berencana untuk menyebrang ke Pulau Sempu. Si empunya kapal menawarkan harga Rp 350.000 untuk keliling Pulau Sempu, dengan kapal kecil dalam waktu +/- 2 jam. Tetapi tujuan kami adalah ke Segara Anakan.

Segara Anakan ini adalah lagoon kecil yang terletak di tengah-pulau Pulau Sempu. Dapat ditempuh dengan kapal dan berjalan kaki memasuki hutan. Akhirnya kami menyewa kapal dengan harga Rp 100.000 PP menuju Pulau Sempu.

Perjalanan kapal ditempuh dalam waktu 15 menit. Sampailah kami di pinggiran Pulau Sempu yang dinamakan Teluk Semut. Dari sinilah perjalanan dimulai (pukul 13.00 wib).

Segara Anakan, tak kalah dengan Ko Phi Phi di Thailand
Baru saja berjalan sekitar 50 meter, kami ketemu jalan bercabang. Sebelah kiri terhalang oleh pohon yang tumbang, sedangkan sebelah kanan lumayan clear. Kami memilih jalan yang kanan. Setelah berjalan sekitar 20 menit, jalanan semakin aneh, jalan setapak mulai gak jelas, jalan daritadi menanjak, dan kami merasa bukan menerobos hutan, tetapi malah berjalan-jalan mengelilingi samping pulau.

Kami memutuskan untuk kembali ke jalan bercabang dan memilih jalan yang satunya lagi. Pukul 13.45 kami kembali sampai ke jalan bercabang. Nekad melangkahi batang pohon tumbang, ternyata jalan ini lebih manusiawi, walaupun jalanan penuh lumpur tapi setidaknya tanjakan tidak terlalu curam. Perjalanan satu setengah jam, tapi belum ada tanda-tanda akan sampai.

Akhirnya kami menyetujui akan balik jika jam 4 juga belum ketemu Segara Arakan, mengingat letak geografis di daerah ini yang lebih ke arah timur Indonesia yang artinya matahari akan terbenam lebih cepat dari biasanya. Untungnya jam 4 tepat kami sudah melihat air di Segara Anakan yang berwarna biru. Wuih, keren dah...


Segara Anakan.
Foto (c) Effendy Siawira, 2009

Setelah sampai, sempat foto-foto dan istirahat sejenak termasuk mencuci kaki yang sudah dipenuhi lumpur. Lagoon ini bentuknya bagus, dikelilingi oleh tebing, dan salah satu tebing itu ada membentuk lingkaran besar dengan ombak yang selalu menghempas dari arah Laut Selatan. Pokoknya setelah sampai disini, serasa tidak percaya bahwa ada tempat yang sebagus ini di Indonesia. Ada beberapa orang yang menyebutkan bahwa lokasi ini lebih bagus daripada PhiPhi Island di film “The Beach” Leonardo DiCaprio.

Kembali ke Pulau Sempu
Setelah ber-narsis ria sesaat walaupun belum puas, apapun yang terjadi, jam 5 kurang ¼ kami harus balik. Mengingat langit yang semakin gelap, dan kami ke pulau ini tanpa persiapan yang memadai (dengan pakaian wisata, sandal casual, tanpa air minum dan makan siang sekedarnya). Perjalanan dipercepat untuk menghindari gelap. Perjalanan cuma beberapa menit, langit sudah menunjukkan kondisi gelap. Dan terjadilah accident kecil.

Salah satu teman terperosok di jembatan kayu yang menyebabkan kaki luka dan sandal hilang, akhirnya si teman berjalan dengan nyeker (tanpa alas kaki). Langit semakin gelap, dan kami yang tadinya ber-8 berjalan bersama semakin terpencar. Tinggallah saya dan 2 orang teman lainnya di paling belakang.

Perjalanan terasa sangat lama dan tanpa penerangan memadai, untung saja ingat bahwa HP-saya ini bisa membantu sedikit penerangannya. Dalam kondisi seperti itu, jalanan di depan hanya berbayang-bayang. Kubangan lumpur yang seharusnya bisa dihindari di kala terang, menjadi korban kaki saya. Sandal yang semula dipakai untuk membantu melindungi tapak kaki malah menjadi hambatan karena licin dan sering tertinggal di dalam lumpur. Akhirnya saya ikutan nyeker juga.

Di tengah perjalanan, muncul seorang bapak dari belakang dengan obor dan sebuah tangkapan ikan yang besar sekali dan meminta izin untuk lewat. Dengan obor itu, lumayan sedikit terbantu melihat jalan. Tapi ternyata si Bapak berlalu dengan cepat dan akhirnya kami ditinggal dalam kegelapan kembali.

Pukul 19.15
: Ternyata kami sudah mendapatkan sinyal HP, langsung saja kami menghubungi teman yang sudah duluan sampai di Teluk Semut untuk menghubungi Bapak Perahu untuk menjemput dari seberang. Ternyata Bapak Perahu sudah di Teluk Semut sejak setengah jam yang lalu karena sedikit khawatir dengan keberadaan kita. Setelah mendapatkan info bahwa kami akan segera sampai, si Bapak Perahu langsung menerobos ke dalam hutan untuk menjemput kami dengan senter yang agak mumpuni.

Pukul 19.30:
Akhirnya kami sampai juga di Teluk Semut bersama si Bapak Perahu, kemudian kami dianter balik ke Pulau Sempu dengan kapalnya. Selama perjalanan, si Bapak menyuruh kami tidak boleh menyalahkan lampu apa pun, termasuk HP. Kami tidak mengerti apa maksudnya, dan kami hanya menurutinya.

Pukul 19.45: Kami kembali menginjakkan kaki di Pulau Sempu. Haus yang luar biasa mengarahkan kaki kami secara otomatis langsung menuju rumah penghuni sana yang menjual teh botol. Ntah berapa botol yang diminum oleh kami-kami. Setelah itu beristirahat sebentar dan gantian mandi. Setelah mandi, sekitar jam 21.00 WIB kami berangkat kembali menuju tujuan selanjutnya, yaitu Gunung Bromo.

Menuju Bromo
Di mobil kami mulai bercerita tentang perjalanan, dan mulai merasakan lapernya perut. Yah berhubung ini termasuk desa kecil dan masih hutan environment, maka kami agak susah menemukan warung di pinggir jalan.

Akhirnya kami tertidur dan jam 11 malam sampai di kota Malang. Segera saja kami mencari restoran McD yang kemungkinan besar buka 24 jam. Untung ada teman yang pernah bekerja di Malang dan mengetahui lokasi pasti dari si McD. Selanjutnya kami tertidur lagi di mobil dan membiarkan Pak Supir membawa kami ke Gunung Bromo.

Hari ke-3: Mendaki Gunung Bromo
Sekitar pukul 1 pagi, akhirnya kami sampai di hotel di Bromo (lupa euy nama hotelnya). Yang pasti hotel ini sudah di-booking sebelumnya lewat telepon. Suasana dingin sudah mulai menusuk tulang. Masuk kamar langsung tidur dah, walopun ada beberapa teman yang masih sibuk mengeluarkan duri pohon-pohon yang tersangkut di kaki hasil warisan dari Pulau Sempu.

Pukul 03.30 WIB kami harus bangun lagi untuk menikmati indahnya sunrise. Serasa belum puas nih tidurnya. Tapi tetap aja harus bangun, gosok gigi dan berangkat dengan Jeep yang telah disewa sebelumnya. Kami menyewa Jeep 2 biji (masing-masing berisi 4 orang).

Di kamar hotel ini telah berkumpul penjual-penjual sarung tangan, kupluk, dan menyewakan mantel dsb. Tapi tidak disarankan membeli disini. Sebab harganya bisa 3-4 kali lebih mahal daripada toko-toko di daerah Gunung Bromo.

Tidak ingat lagi perjalanan dengan Jeep ini berapa lama, yang pasti semua penumpang sudah tertidur lagi. Pas bangun sudah berada di daerah Penanjakan. Udara dingin di Bromo cukup membuat tangan menggigil. Ini merupakan tempat yang sangat favorit bagi pecinta fotografi untuk mengabadikan moment matahari terbit.


Gunung Batok.

Foto (c) Effendy Siawira, 2009

Setelah ini adalah waktunya sarapan dan kemudian dilanjutkan menuju kaki kawah Bromo. Jeep 4WD yang kami sewa ternyata tidak bisa membawa kami hingga ke tujuan. Untuk mencapai kaki Gunung Bromo masih berjarak sekitar 500 meter. Saat itu kami menyewa kuda dengan harga Rp 35.000,- bolak-balik. Cukup seru! Dari kaki kawah, kami harus memanjat anak tangga sebanyak 250 step untuk mencapai puncak Gunung Bromo.


Stairway to Mount Bromo.
Foto (c) Effendy Siawira, 2009

Setelah itu waktunya kembali ke hotel untuk bersih-bersih dan mengepack barang bawaan untuk check out.

Jam 12 tepat, kami keluar dari hotel dan melaju menuju Malang. Lokasi wisata di Malang adalah Jatim Park. Tempat ini seperti Dufan-nya Jakarta. Tapi alangkah suramnya, tempat wisata ini tutup pada pukul 5 sore. Akhirnya kami hanya duduk dan foto-foto sesaat dan memutuskan untuk kembali ke Surabaya.

Hari ke-4: Pulang deh ke lokasi asal... Balikpapan, I’m coming! :)


Profil Kontributor
Effendy Siawira, geoscientist di sebuah perusahaan. Memiliki hobby travelling, petualang mengunjungi tempat baru, dan mencoba hal-hal yang baru. Tipe manusia yang tidak suka terikat dan melakukan sesuatu semaunya (dengan catatan tidak merugikan org lain, syukur-syukur kalau orang itu bisa ikut senang ^^). Paling senang berburu tiket promo dan merencanakan perjalanan jauh-jauh hari, walaupun pada akhirnya belum tentu tiketnya dipakai. Motto hidup: "tidak ada yang lebih penting selain membangun networking". Tulisan Effendy lainnya dapat dikunjungi di blog pribadinya: UNEQ – ONUQ by effendy siawira.

Sunday, April 11, 2010

East Java Trip : Journey to Surabaya - Sidoarjo - Sempu - Bromo - Malang - Batu (Part-1)

Posting tamu oleh : Effendy Siawira

Long weekend telah tiba. Tanggal merah di hari Kamis disusul oleh hari kerja kejepit akan menggoda setiap orang untuk mengambil cuti dan menghilang dari kantor sejak Kamis hingga Minggu.

Perjalanan saya dimulai dari Bandara Internasional Sepinggan, Balikpapan. Hiruk pikuk di bandara sudah mulai terlihat pada pukul 09.00 WITA tanggal 26 Maret 2009, mencerminkan bahwa para manusia di kota itu telah bersiap-siap untuk menikmati liburannya.

Setelah menunggu sebentar di ruang tunggu, akhirnya pesawat yang akan saya tumpangi telah siap untuk diberangkatkan. Para penumpang dipersilahkan masuk dengan menunjukkan boarding pass + kartu pengenal (KTP/SIM/Paspor).

Durasi penerbangan 1,5 jam dan berhubung waktu di Surabaya adalah 1 jam lebih lambat dari Balikpapan, maka saya tiba di Bandara Juanda, Surabaya pada pukul 10.30 WIB. Suhu di darat dilaporkan 29 derajat Celcius seolah-olah memberi peringatan bahwa jika tidak ada kepentingan di luar, maka cukup stay saja di dalam ruangan ber-AC.

Perjalanan kali ini diikuti oleh 8 orang dengan komposisi: 5 orang dari Jakarta, 1 orang dari Balikpapan, dan 2 orang adalah tuan rumah di Surabaya, dengan rute yang telah disepakati: Surabaya – Sidoardjo – Malang – Pulau Sempu - Gunung Bromo – Batu – Surabaya.

east java trip
Rute : Surabaya - Lumpur Sidoarjo - Pulau Sempu -
Gunung Bromo - Malang - Batu.


Suasana Bandara Juanda juga ramai tanpa terpengaruh Hari Raya Nyepi yang jatuh pada hari tersebut, tetapi kondisi masih bisa diimbangi dengan luasnya gedung terminal sehingga tidak terasa sumpek. Kalau mau dinilai, bandara ini lebih bagus dari Polonia Medan loh… :)

Untuk memastikan waktu kedatangan team dari Jakarta, saya menghubungi si H, eh ternyata pesawat mereka delay 20 menit dari waktu yang seharusnya jam 11.30 WIB. Yang artinya saya harus menunggu +/- 3 jam dari waktu sekarang. Kartu kredit baru di-downgrade to silver, lagi. Jadinya gak bisa menumpang di airport lounge.

Akhirnya cuma bisa muter-muter di ruang tunggu saja sambil menunggu A dan R yang sudah dalam perjalanan menuju airport. Suasana menunggu tidak terasa lama, sebab ada teman, si F, yang berbaik hati menemaniku di telepon, hehe… Thanks.

A & R datang sekitar pukul 1 siang dan memutuskan untuk makan di RM Padang sambil menunggu team dari Jakarta. Setelah menunggu cukup lama, sekitar 14.10 terdengar informasi bahwa pesawat GA xx dari Jakarta telah mendarat. Akhirnya penantian kami berakhir sekitar pukul 3 siang. Team telah lengkap!

Dengan menumpang Innova milik A & R. Oiya, si A & R ini adalah pasangan baru, SELAMAT yahh! Kami meluncur untuk makan siang lagi di Mie 55. (Teman-teman dari Jakarta belum makan nih. Kasian!)

Hari ke-1 : Berkeliling Kota Surabaya

Jadwal hari pertama ini adalah seputaran kota Surabaya. Demi menghormati para “pahlawan devisa” yang telah berkontribusi besar dalam pembayaran cukai, maka kami mengunjungi Museum Sampoerna.

Sesaat gerbang masuk museum dibuka, sudah tercium bau tembakau yang menyengat. Bagi yang bukan ahlinya pasti akan sulit membedakan mana yang dipakai untuk “Sejarah Cita Rasa Tinggi” ato “How Low Can You Go”. Dalam ruangan terdapat berbagai jenis tembakau, cengkih, sepeda zaman kuno, sado/delman tanpa kuda, becak, warung-warung pinggir jalan yang dilengkapi dengan barang-barang kelontong, timbangan sampai dengan kotak korek api dari zaman dahulu.

Bangunan ini berlantai 2, di mana lantai atas ini digunakan untuk menjual souvenir. Di lantai atas kita bisa melihat ruang kerja para pemelintir rokok. Sangat disayangkan kami datang pada saat hari libur, dimana para karyawan sedang libur. Keinginan untuk melihat cara memelintir rokok tidak terkabul!

Selanjutnya menuju ke Sanggar Agung yang terletak di Surabaya Timur. Tempat ini berada di dalam Kompleks Kenjeran Park yang konon merupakan stadion olahraga yang bagus puluhan tahun yg lalu.

Di Sanggar Agung terdapat “Four Faced Buddha” yang gede banget, dan di sampingnya ada Dewa Ganesha. Tentu saja, teman-teman (termasuk saya) tidak mau ketinggalan untuk berfoto bersama Sang Ganesha yang sudah tidak asing lagi dan juga merupakan sosok yang telah menemani masa-masa kami menimba ilmu.

Lokasi yang dekat dengan laut ini terdapat arca Dewi Kwan Im yang sangat besar dan letaknya sangat tinggi, seolah-olah sang dewi datang dari khayangan menghampiri Sanggar Agung. Keren! Sayangnya langit telah gelap, sehingga kami tidak mendapatkan foto yang bagus untuk lokasi ini.

Jam di tangan telah menunjukkan 19.30, artinya waktu yang tepat untuk makan malam. Sesuai dengan ritual orang yang baru mengunjungi Surabaya, maka kami makan bebek goreng di BKT (Bebek Kayu Tangan), Jl. Bratang Gede. Disini menyediakan bebek/ayam dengan harga Rp12.000/potong ato Rp50.000/ekor. Harga yang cukup kompetitif.

Nah, tempat selanjutnya yang wajib dikunjungi di sini adalah adalah Gang Dolly. Penasaran dengan sebutannya yang merupakan red district terbesar se-Asia Tenggara, membuat kami tidak sabaran untuk segera membuktikan kebenaran apa yang telah disebut-sebut orang selama ini.

Waktu masih terlalu sore untuk melihat aktivitas di sana, jadi kami memutuskan untuk singgah di Sutos (Surabaya Town Square). Ini merupakan salah satu mall dengan konsep semi-outdoor. Kata salah seorang teman, ini mirip-mirip ama Paris Van Java Mall di Bandung. Kami cuma berkeliling sebentar dan kemudian sudah waktunya untuk menuju red district. Cabuttzz..

Satu belokan lagi menuju lokasi target. Kami telah siap dengan kondisi mata yang sigap. Wow… sangat-sangat menakjubkan. Di sepanjang kiri-kanan tertampang etalase-etalase yang berisi kaum hawa. Tadinya mau foto dari dalam mobil, tapi serem juga kalo para bodyguard di sana berang. Mana jalanan sempit lagi.

Akhirnya kami cuma lewatin jalan itu sebanyak 2 kali dan kemudian pulang ke rumah A&R di Ciputraland “The Singapore of Surabaya” untuk istirahat dan mempersiapkan diri untuk berpetualang esok harinya.

Bersambung ke East Java Trip : Journey to Surabaya - Sidoarjo - Sempu - Bromo - Malang - Batu (Part-2)

+ + + + +

Kredit: Beberapa foto dipinjam dari House of Sampoerna dan EastJava.com



Profil Kontributor
Effendy Siawira, geoscientist di sebuah perusahaan. Memiliki hobby travelling, petualang mengunjungi tempat baru, dan mencoba hal-hal yang baru. Tipe manusia yang tidak suka terikat dan melakukan sesuatu semaunya (dengan catatan tidak merugikan org lain, syukur-syukur kalau orang itu bisa ikut senang ^^). Paling senang berburu tiket promo dan merencanakan perjalanan jauh-jauh hari, walaupun pada akhirnya belum tentu tiketnya dipakai. Motto hidup: "tidak ada yang lebih penting selain membangun networking". Tulisan Effendy lainnya dapat dikunjungi di blog pribadinya: UNEQ – ONUQ by effendy siawira.

Sunday, June 14, 2009

Menjelajahi Kampung Inggris di Pare, Kediri

Barusan pulang dari perjalanan ke Surabaya - Mojokerto - Jombang - Pare. Capeghh, tapi menyenangkan, hehehe...

Awalnya...
Awalnya hanya mau menemani seorang teman --yang berprofesi sebagai praktisi pendidikan-- ke Pare, Kediri, Jawa Timur. Katanya di sana ada sebuah kampung yang warganya fasih bahasa Inggris semua, sampai-sampai hanya untuk membeli rokok di warung saja mereka juga menggunakan bahasa Inggris. Saya jadi penasaran, ini beneran atau cuma mitos? Jadilah saya nebeng dia bersama satu teman lagi menuju Pare, heuheu...

Berdasarkan info yang diperoleh dari internet, ternyata ada beberapa jalur yang bisa ditempuh untuk menuju Pare. Pada akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan jalur udara dengan alasan efisiensi waktu dsb. Kebetulan waktu itu Lion Air masih promo, jatuhnya sekitar Rp 600.000,00 PP Jakarta-Surabaya. Sebenarnya masih bisa lebih murah lagi sih, AirAsia sempat menawarkan Rp 500.000,- PP, cuma sayangnya kami terlambat memesan tiket. Tapi untuk pemesanan tiket yang mepet-mepet, saya pikir harga itu wajar, hehehe...

Hari 1 - Menuju Surabaya
Berbekal ransel dan sendal jepit (haha!) dengan uang serta info yang seadanya, kami berangkat dari Cengkareng menuju bandara Juanda pada sore hari, kira-kira sampai di Juanda sekitar jam 5 sore. Ngomong-ngomong, Bandara Juanda bagus banget ya! Nahh, untungnya di Surabaya sudah ada saudara yang dengan sukarela mau menampung kita bertiga selama di sana, sehingga kami dapat mengurangi biaya akomodasi, wuhuuu... (makasih Pakde-Bude-Mas Benito!) :)

Hari 2 - Menuju Pare
Setelah beristirahat semalam di Surabaya, besok paginya kami berangkat ke Terminal Purabaya, yang lebih dikenal dengan Terminal Bungurasih, untuk naik bus ekonomi jurusan Trenggalek - Kediri - Surabaya yang melewati Pare. Terminal Bungurasih ini membuat kami takjub karena faktor kebersihan dan keteraturannya. Jadwal bus terlihat cukup teratur dengan adanya jadwal yang tertulis di papan dan layar TV digital (seperti jadwal keberangkatan yang terdapat di bandara).

Harga tiket bus Rp 12.000,- untuk perjalanan 3 jam menuju Pare. Untuk mencapai Pare, bus kami melewati dua terminal, Terminal Mojokerto & Jombang.

Kami sempat terheran-heran dengan kondektur bus yang saat kami bilang mau ke Pare, langsung bertanya "Mau ke BEC ya?" Waktu itu kami hanya bertanya-tanya dalam hati, apa sih BEC?

Kami cuma bilang, mau ke tempat yang ada kursus bahasa inggris-nya, dan ia langsung mengiyakan "Ya yang itu, namanya BEC." Ternyata kebanyakan orang yang turun di Pare bertujuan untuk khusus mengunjungi tempat tersebut. Wah kami makin penasaran, kok tempat itu kayanya terkenal banget ya?

Kampung Inggris
Ternyata nama tempat yang kami tuju adalah Desa Pelem, Kec. Pare, Kab. Kediri. Sampai di Pare kami turun di perempatan Tulungrejo, dan langsung disambut oleh para penarik becak yang menawarkan mengantar ke "BEC" dengan tarif Rp 10.000,- /becak. Karena kami bertiga, maka kami menggunakan dua becak.

Ria, dengan kepiawaiannya bernegosiasi (cie! hehehe), mengusulkan agar kami diajak berkeliling mengunjungi tempat-tempat kursus yang tersebar di "Kampung Inggris", begitulah orang lokal menyebut kampung tersebut.

Penarik becak yang kami tumpangi untungnya amat informatif, dia sekaligus berperan sebagai tour guide kami, hahaha menyenangkan... Sambil menarik becak, satu persatu dia memberitahu tempat-tempat kursus yang terkenal di kampung tersebut.

Menurut penarik becak kami, di Desa Pelem ini terdapat sekitar 200-an tempat kursus bahasa, sehingga persaingan antar tempat kursus pun semakin ketara. Tempat kursus yang terbilang kecil masih menggunakan bangunan rumah penduduk yang sederhana, namun tempat kursus yang lebih besar sudah memiliki bangunan sendiri.


(kiri) BEC, pioneer kursus bahasa Inggris di Pare. Didirikan pada tahun 1977 oleh orang Indonesia asal Kalimantan, yang menikah dengan penduduk lokal. (kanan) Mahesa Institute, salah satu tempat kursus bahasa Inggris yang terkenal di Pare.

Tempat kursus yang terbilang besar dan cukup terkenal di sini ada 2, yakni Basic English Course (BEC) dan Mahesa Institute. Ternyata "BEC" adalah pionir dari tempat-tempat kursus bahasa Inggris yang menjamur di daerah tersebut. BEC pertama kali didirikan pada tahun 1977 oleh orang Indonesia asal Kalimantan, yang menikah dengan penduduk lokal. Mereka berinisiatif untuk membuka tempat kursus bahasa Inggris yang akhirnya sukses, dan kemungkinan besar mereka mendorong para lulusannya untuk membuka tempat-tempat kursus baru di sana.

Selain ke BEC dan Mahesa, kami juga turut mendatangi beberapa tempat kursus kecil untuk membandingkan harga & fasilitas.

Program Kursus, Akomodasi, dan Transportasi
Kursus biasanya dibagi perpaket dengan rentang waktu belajar yang bervariasi, ada yang 2 minggu, 1 bulan, 2 bulan, hingga 1 tahun. Pengikut kursus datang dari berbagai daerah di Indonesia, dari Riau, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua pun ada. Selama masa belajar, pengikut kursus tinggal di rumah penduduk yang dijadikan tempat kost. Rata-rata biaya kost di daerah ini sekitar 60rb hingga 100rb sebulan. Biaya hidup di sini relatif murah, makan di warung cukup mengeluarkan uang sekitar Rp 1.500,- hingga Rp 5.000,- sekali makan.

Untuk transportasi, penarik becak kami memberi info bahwa rata-rata pelajar di sana membeli sepeda sebagai alat transportasi yang harganya berkisar antara 90rb hingga 100rb, dan biasanya setelah lulus dari kursus mereka menjual kembali sepeda tersebut. Tempat penyewaan sepeda sebenarnya juga tersedia, namun tentunya lebih baik membeli sepeda karena hitungannya lebih ekonomis kalau kita ikut program kursus yang rentang waktunya cukup lama.

Ada beberapa tempat kursus yang menggunakan sistem asrama (camp), termasuk BEC dan Mahesa. Salah satu tempat kursus yang kami datangi, Able & Final English Course, menawarkan paket asrama. Menariknya, selama 2 minggu pertama di asrama, murid masih diperbolehkan untuk menggunakan bahasa Indonesia, namun setelah 2 minggu, bercakap-cakap harus dilakukan dengan bahasa Inggris dan bila dilanggar mereka harus membayar denda yang telah disepakati, biasanya Rp500,- sekali kena denda.

Wah seru juga ya!
Mereka dipaksa secara halus untuk terus menggunakan bahasa Inggris, mungkin dapat dibilang seperti konsep belajar Bahasa Inggris dengan home stay di luar negeri, namun versi lokal, hehehe... Summer Camp versi Indonesia. :)

Ternyata...
Awalnya saya kira seluruh penduduk kampung ini fasih berbahasa Inggris, "sampai-sampai hanya untuk membeli rokok di warung saja mereka juga menggunakan bahasa Inggris", ternyata maksudnya yang fasih itu ya para pendatang yang mengikuti kursus bahasa Inggris.

Justru (kata bapak penarik becak) rata-rata anak-anak penduduk lokal tidak semuanya ikut kursus & belajar bahasa Inggris di sini. Namun, tidak disangkal lagi bahwa dengan adanya Kampung Inggris ini, desa Pelem menjadi terkenal di seluruh penjuru tanah air, dan menjadi tempat tujuan orang-orang yang ingin belajar bahasa Inggris secara lebih ekonomis & efektif. Secara tidak langsung pun perekonomian desa ini pun ikut terdongkrak. Menurut saya, desa ini merupakan salah satu contoh wisata pendidikan yang berhasil.

Kembali ke Surabaya
Tak terasa kami sudah berkeliling selama 2,5 jam. Sebelum kembali ke terminal Pare, kami singgah dulu sebentar ke Masjid Agung Pare (Masjid An-nur) untuk sholat & cuci muka, dan makan siang dengan bekal. Bagi yang belum tahu, oleh-oleh khas Pare adalah tahu kuning & getuk pisang, kami sempat membeli beberapa bungkus getuk pisang untuk buah tangan.


Numpang makan & sholat di Masjid Agung Pare (Masjid An-nur)

Oleh-oleh khas Pare : Getuk Pisang


Dalam perjalanan menuju pool bus, tergoda dengan banyaknya kedai Es Degan (Kelapa Muda), kami menyempatkan untuk jajan Es Kelapa Muda, hehehe... Cukup mengeluarkan Rp 2.000,- untuk 1 gelas besar! :9

Setibanya di pool bus, kami membayar tarif becak Rp50.000,-/becak untuk jalan-jalan seharian. Di bus, kami tiduuurrr. Masih 3 jam lagi mencapai Surabaya.

Sekembalinya di Terminal Bungurasih, kami melanjutkan perjalanan ke Tanjung Perak dengan menggunakan Patas AC (ini namanya AC alam! hehehe) dengan karcis bus Rp4.000,-/org. Akhirnya kami tiba di Surabaya sekitar jam 19:30 malam. Setelah bebersih, makan malam, lalu sempat diajak Pakde-Bude ke "Makan Dulu" cafe (?), lupa namanya, hehehehe... Ngemil malem2 dan menonton live music. Hwahaha, Pakde & Puti sempat nyanyi lagu lawas. Seru.

Hari 3 - Jembatan Suramadu... & Pulang ke Jakarta!
Diajak jalan-jalan ke Jembatan Suramadu sama Bude, sayang belum dibuka, menurut koran pagi jembatan Suramadu baru dibuka besoknya lagi jam 06.00. Jadi kami hanya bisa melihat bentangan jembatan dari jarak jauh. (Ternyata sesampainya di Jakarta, saya mendapat kabar bahwa pada hari itu jam 13:00 akses jembatan sudah dibuka untuk umum.)

Lalu kami sempat ke daerah bencana lumpur Lapindo, miris ngeliatnya karena akhirnya menjadi objek wisata. Indonesia, really Dangerously Beautiful. Di sini sekitar 13 kampung terendam lumpur akibat bencana nasional. Lumpur yang tergenang benar-benar terlihat seperti lautan luas, terlihat beberapa puncak atap rumah yang tenggelam oleh lumpur. Di sana masih terlihat 1 titik yg berasap (tahun lalu masih ada 3 titik yang mengeluarkan asap). Katanya, beberapa pengungsi masih tinggal di terminal dan pasar Sidoarjo.

Kami sempat mampir ke Kabupaten Pasuruan juga untuk membeli klepon & cenil. Akhirnya kami balik ke Surabaya, makan siang, beli oleh-oleh, istirahat sebentar lalu berangkat ke bandara Juanda untuk pulang ke Jakarta. Nyampe rumah, tepaarrr. Tidur lagi deh. :p

PS. Lain kali ajakin gw jalan2 lagi ya Puti & Ria! Hehehe menyenangkan. Ternyata naik bus ekonomi lebih menarik dibanding naik bus AC, khehehehe... :) Thanks juga buat Pakde, Bude, Mas Benito, Pak Jimo, & Pak Wardiono.

---

*Untuk info lebih lanjut tentang kursus Bahasa Inggris di Pare:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0507/12/mur17.htm
http://info-wtc.tripod.com/pare_city.html
http://mukhlis.net/2008/11/01/learn-english-in-pare/
http://sagoeleuser5.wordpress.com/2009/01/12/kampung-bahasa-sentra-kursus-bahasa-inggris-termurah-di-indonesia/
http://nessy.blogdetik.com/2009/04/18/belajar-bahasa-inggris-di-pare/
http://www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1719&Itemid=40
http://akhlisnur.blogspot.com/2008/05/kursus-inggris-di-pare.html

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting