Thursday, April 29, 2010

Google Trike, Kendaraan Pemetaan Digital 3 Dimensi

Artikel ini terkait dengan tulisan saya sebelumnya yang berjudul Merencanakan Itinerary dengan Google Earth.

Beberapa minggu yang lalu saya terkagum-kagum melihat kecanggihan Google Street View. Bayangkan, saya bisa melihat bangunan hostel tempat saya dulu menginap di Singapura secara 3 dimensi! Yah, memang cuma bagian luarnya sih, alias cuma keliatan pintunya aja. Tapi tetep aja kan canggih, hehehe...

Dan saat itu saya penasaran banget:
Apa sih alat yang mereka gunakan untuk memetakan lokasi-lokasi tersebut secara 3 dimensi?

Pertanyaan saya terjawab saat saya membaca majalah Reader's Digest, edisi Mei 2010, yang membahas mengenai kendaraan yang digunakan untuk pemetaan 3 dimensi tersebut. Ada beberapa jenis kendaraan yang digunakan, satu berbentuk sepeda dan satu lagi menggunakan mobil.

Yang unik adalah pemetaan yang menggunakan sepeda roda tiga, nama kendaraannya adalah Google Street View Trike, atau singkatnya: Google Trike.

Apa itu "Google Street View Trike"?
"Google Street View Trike adalah mesin mekanik yang dibuat dari sepeda roda tiga, sebuah kamera penangkap citra jalan yang ditempatkan lebih tinggi dari ketinggian pandang mata manusia, dan sebuah kotak yang terlihat seperti pendingin es yang biasa dibawa penjual es keliling. [...] Kamera yang ditempatkan di mesin ini memiliki beberapa lensa yang diarahkan ke berbagai sudut berbeda untuk menangkap gambar-gambar jalan secara bersamaan."
- ditulis oleh Maida Pineda, Reader's Digest (Mei 2010)
Ide Google Trike pertama kali diciptakan oleh Dan Ratner, seorang insinyur senior Google. Impiannya adalah memetakan jalan-jalan setapak yang sempit secara 3 dimensi, karena justru di jalan-jalan setapak yang tidak bisa dilewati kendaraan inilah yang biasanya memiliki lingkungan unik dan menarik, seperti pengalaman Ratner saat berada di Barcelona, Spanyol. Yup, dari sanalah ide Google Trike pertama kali muncul.

Bentuk Google Trike ini lucu, seperti yang dijelaskan Pineda, mirip kendaraan penjual es krim keliling! Walaupun demikian, berat Google Trike ini mencapai 130 kg. Tugas yang tidak mudah bagi para pengayuhnya, namun Zerus Lin (27), salah seorang Google Triker di Singapura, menyatakan bahwa ia lebih senang bekerja di luar ruangan dibandingkan terkungkung bekerja kantoran seharian penuh.



Penggunaan Google Street View untuk Traveling
Beralih ke Google Street View...

Kini traveling terasa menjadi lebih mudah dengan adanya Google Street View sebagai fitur pendukung Google Earth. Salah satu pengguna yang sudah merasakan manfaatnya adalah saya sendiri. Contohnya, dari fitur tersebut saya bisa melihat dan mempertimbangkan lokasi penginapan yang akan saya inapi di kemudian hari. Apabila lingkungan sekitar penginapan terlihat kurang "sreg" di hati, maka saya akan beralih ke penginapan lain yang lokasinya terlihat lebih baik. Itu baru salah satu manfaatnya, saya yakin masih banyak manfaat lainnya yang dapat diperoleh dengan adanya pemetaan secara 3 dimensi ini.


Tampilan Google Street View
di sebuah persimpangan jalan di Manchester, England.

Sumber: wikipedia


Sayangnya untuk saat ini Google Street View belum bisa dinikmati secara lengkap dan mendunia karena masih dalam masa pengembangan. Namun beberapa kota di dunia sudah bisa Anda "kunjungi" dan lihat-lihat, seperti Cina, Jepang, Australia, Cape Town, Perancis, Spanyol, Amerika Utara, dan banyak lagi negara lainnya.

Hingga detik ini, pemetaan secara 3 dimensi ini masih terus menerus bertambah dan diperlengkap. Canggih!

Sudah siap untuk traveling ke belahan dunia yang lain? Tinggalkan backpack Anda, siapkan minuman serta cemilan secukupnya, duduklah dengan santai di depan meja komputer, kemudian nikmatilah traveling dengan Google Street View. :)

Temukan peta resmi area yang telah terdokumentasikan oleh Google Street View, selengkapnya, di sini: Streetview Landing Page Prototype.

+ + + + +

REFERENSI
- "Keliling Dunia Sampai ke Jalan Sempit: Topografi Peta Digital", oleh Maida Pineda. Artikel di Reader's Digest, edisi Mei 2010.
- "Street View: We can trike wherever you like", Official Google Blog.

Avatar: The Legend Of Garut (Part-2)

Posting tamu oleh: Wenny Rosliana

Sambungan dari Avatar: The Legend Of Garut (Part-1)

Sekitar jam 10-an kita keluar dari Danau Cangkuang, menuju ke Kawah Kamojang. Agak lama perjalanannya. Waktu udah menunjukkan jam 11 siang dan kita udah nyampe di sekitar Cipanas. Hmmm mulai laper nih...

Sambil celingak-celinguk cari resto yang oke (harganya), akhirnya kita memutuskan untuk makan siang di Rumah Makan Dua Saudara. Dari depan ini resto kayak rumah makan Padang, tapi menunya khas Sunda. Ehh pas masuk ke dalemnya ternyata gede juga. Ada musholla nya pula. Mantaff. Dan yg lebih mantaff lagi, kita cuma bayar Rp 103.000,- untuk bertujuh! Padahal udah pesen sop kaki lah, ayam goreng lah, gilingan nih resto murah abiez. Rasanya juga enyaaaakkk. Hihihihihi, recommended deh untuk dicoba. Dan di dindingnya ini resto ada beberapa foto pemilik resto ama artis-artis such as Yana Yulio.

Pemberhentian Kedua: Kawasan Kawah Kamojang
Setelah sholat Zuhur, kami melanjutkan perjalanan menuju Kawah Kamojang. Ternyata jalan ke Kawah Kamojang itu searah sama jalan menuju Kampung Sampireun, dan ternyata ehh ternyata lagi, kalo mau ke Kawah Kamojang itu emang ngelewatin Kampung Sampireun! Hihihihihi... Yawda deh perginya cuma lewat aja, ntar aja pas baliknya mampir.

Naik-naik ke puncak gunung deh kita menuju Kawah Kamojang. Udah sampe di puncak gunung, trus turun lagi. Kok itu tempat tujuan ga sampe-sampe yach. Tanya ke orang lewat, katanya lurus aja. Yawda kita ngikutin jalan.

Udah sampe gunung yang kedua, masih aja blom ada tanda-tanda tempat wisata. Untung jalanannya bagus. Gunung yang kedua udah sampe puncaknya trus turun lagi, sampe kita berjalan di gunung yang ketiga, mulai deh ragu. Bener ga sih ini jalannya, kok sampe ngelewatin tiga gunung gini.

Sampai lah kita di perkampungan, tanya lagi ke orang di jalan, jawabannya tetep sama, "Lurus ajah." Pak supir yang kita sewa bercanda, "Wahh kalo ini brarti udah deket nih soalnya nunjuknya pake jempol, kalo tadi nunjuknya pake telunjuk brarti masih jauh." Wakakakakkakak...

Makin jauh kita masuk ke perkampungan, ternyata ehh ternyata, diatas gunung ini ada unit Pertamina Geothermal Energy. Pantesaaaannn jalanannya mulus bener. Sambil terus kita telusuri jalan trus tiba-tiba jalanan aspalnya abis, trus jalanan berbatu. Ehh akhirnya sampe deh di pintu gerbang Kawah Kamojang.

Alhamdulillah...
Setelah mendaki gunung lewati lembah akhirnya sampe juga.

Harga tiketnya Rp 5.000,- kalo ga salah. Mulai deh kita memasuki kawasan kawah. Tapi bingung di sini banyak banget kawahnya. Dari penerawangan mbah google katanya kawah yang famous di Kamojang ini ada Kawah Kereta Api & Kawah Hujan.

Tapi ini kok cuma aer blebek-blebek doang? Hiks, hopeless deh kita... Udah jauh-jauh cuma gini doang kawahnya. Yawda deh balik lagi ajah.

Sambil cari jalanan untuk muter balik, kita ketemu orang yg lagi jalan kaki, tanya-tanya deh, "Pak, kalo Kawah Hujan di mana ya?" Bapaknya jawab, "Ohh di depan situ... Udah deket kok. Parkiran juga ada di depan."

Waaaahhhhh horreeee!!
Akhirnya jadi juga ngeliat kawah setelah hopeless, hehehehe...

Ternyata parkiran di Kawah Kamojang bagus lho. Mirip-mirip sama Kawah Putih di Bandung lah. Abis dari parkiran trus naek tangga menuju kawah. Kawah di sini ga terlalu bau belerang jadi bisa bernapas lebih lega dibanding di Kawah Putih.

Kawah Kereta Api & Kawah Hujan
Kawah pertama yang kita temuin adalah Kawah Kereta Api. Kenapa disebut kereta api, karena kawah ini kalo dikasih corong bambu bunyinya kyk kereta api, tuuut... tuuutt..., dan kekuatan uap anginnya bisa bikin barang-barang mental. Kenceng banget anginnya.

Kawah Kereta Api.
Foto (c) Wenny Rosliana, 2009


Bertemu Pak Koko, Sang Avatar Pengendali Angin & Air
Udah tanggung nyampe Kawah Kereta Api, cari Kawah Hujan ahh. Kita menaiki anak tangga lagi dan kayaknya sampe di kawah yang dituju.

Di tengah kawah itu ada seorang bapak penjaga kawah, kabarnya bernama Pak Koko. Sambil ragu-ragu dan dorong-dorongan karena ga ada yang mau jalan ke tengah kawah, akhirnya gw, QQ dan Iqbal jadi kloter pertama yang turun ke kawah, hehehehe... Duh deg-deg-an.

Di bawah kami langsung disambut oleh Pak Koko, dan disuruh duduk di bangku batu gitu. Trus dengan ajaib dia melambaikan tangannya ke asep dan asep itu tiba-tiba menuju ke arah kita. Whuzzz... hawa panas langsung menyeruak ke seluruh tubuh. Wuiihhh gilingan nih orang, avatar pengendali angin, hihihihihi *komik mode:on*

Pak Koko lalu bertanya, "Mau lebih panas lagi ga? Nih siap-siap yaa. Uapnya kali ini lebih panas." Hahhh?? Kok bisa yaaaa dia ngendaliin uap gitu? Ajaib...

Lagi sauna alami dipimpin oleh avatar pengendali angin. :P
Foto (c) Wenny Rosliana, 2009

Setelah kepanasan, gw mulai nyerah. Saat hendak beranjak si bapak avatar nawarin, "Mau coba Kawah Hujan ga? Terapi air. Bisa buat nyembuhin sakit asma, sakit pinggang, sakit kulit, sakit jantung, dll. Kalo di luar ada terapi tusuk jarum, di sini ada terapi yg mirip tusuk jarum juga, tapi pake air." Whew, apaan lagi tuh...

Tapi udah tanggung, yawda lah sambil deg-deg-an kita coba aja. Diantarlah kita oleh Pak Avatar ke mulut goa yg mengeluarkan uap dan ada rintik-rintik air diatasnya. Kita disuruh berdiri membelakangi goa.

Trus dimulailah aksi Sang Avatar Pengendali Air. Hanya dengan melambaikan tangan, itu air tiba-tiba menyiram bagian belakang tubuh kita! Bbbrrrr... Langsung deh basah nih baju & celana yang cuma satu-satunya. Dan emang beneran terasa itu air gerakannya kayak nusuk-nusuk gitu. Tapi ga sakit kok, cuma kaget ajah karena gerakannya disiram itu.

Setelah puas mandi hujan, kita beranjak balik ke temen-temen deh. Tapi iseng gw tanyain, "Pak, suhu air kawah di sini brapa ya?" Si bapak avatar pengendali angin & air ini ga jawab cuma senyum ajah trus tangannya dilambaikan di atas air yang menggenang, trus tau-taunya ntu air blebek-blebek kayak mendidih gitu. Waaaahhhhh sakti abiez ni orang! Ck-ck-ck...

Mandi hujan uap di depan goa.
Foto (c) Wenny Rosliana, 2009

Setelah gw ke atas, gantian deh. Tiga orang temen-temen yang laen turun ke bawah. Oia, jangan lupa kasih "hadiah" yach ke Pak Avatar ini. Dia ga minta kok, cuma nanti lo kasih aja se-ikhlasnya ajah.

Pemberhentian Ketiga: Kampung Sampireun
Setelah menyegarkan diri di Kawah Kamojang, kita meluncur menuju Kampung Sampireun. Ternyata Kampung Sampireun ini adalah cottage yang suka dibuat shooting ama tipi-tipi, bukannya tempat wisata.

Di sana ada tulisannya:
"Yang survey tidak boleh lebih dari 10 menit."
Ihhh, malesin banget deh
.

Tapi kita ga kehabisan akal dunk, gw & nyokapnya Jule langsung menuju resepsionis dan tanpa janjian udah saling ngerti aja untuk bikin skenario seolah-olah kita mau survey buat kantor. Whahahahaha, saat kita lagi ngeribetin petugasnya, temen-temen yang laen bisa foto-foto dan keliling-keliling deh. Hihihihihi...

Tapi kalo weekend kamarnya ga bisa disurvey katanya, soalnya suka dapet complaint dari penyewa. Jadi yang mau survey nya sampe ke dalem-dalem datengnya pas weekdays aja.

So kita cuma maen di lobby-nya Sampireun aja deh. And you know what, danau di Sampireun itu kecil, cuma efek kamera ajah jadi tampak luas. Tapi emang rapih, peaceful, and high privacy. Cocok banget buat honeymoon, apalagi ditambah adanya Taman Sari Royal Heritage Spa di sana.

Kampung Sampireun.
Foto (c) Wenny Rosliana, 2009

Selesai dari Kampung Sampireun udah hampir jam 5, meluncur deh kita ke Bandung buat shopping trus kembali ke Jakarta. ^o^

Nahh sekarang kita bicara tentang budget-nya.

Rincian Biaya:
- Sewa mobil APV (www.jatrofatrans.com) dari jam 5 subuh s.d jam 12 malem = Rp 550.000,-
- Bensin untuk keliling Bandung+Garut = Rp 150.000,-
- Toll = Rp 100.000,- PP.
- Makan & tiket anggep aja ditanggung masing-masing.

Jadinya Total Fixed Costnya = Rp 800.000,-
Secara kita jalannya ber-6 jadi biayanya sekitar Rp 135.000,- per orang.

Menurut gw sih worth banget. ^o^


Profil Kontributor
Wenny, kini bekerja di sebuah lembaga pemerintahan di Jakarta. Hobi jalan-jalan dengan budget minim dan sudah berencana untuk jalan-jalan lagi dalam waktu dekat. :)

Wednesday, April 28, 2010

Workshop & Sharing - JUST Travellers @ Weekend

Yupyup, mau bagi-bagi info:
Bakal ada workshop buat para traveler, hari Sabtu-Minggu tanggal 1-2 Mei 2010. Ada workshop dan sharing dengan tema macem-macem, dari fotografi, diving, caving, sampai travel writing bakal dibahas di sana.

Ini cuplikan infonya:
Dear Pecinta travelling di seluruh Indonesia, JUST TRAVELLERS segera hadir. Selain menikmati beragam kegiatan menakjubkan didalamnya, kamu bisa ikuti beragam Workshop yang sangat menarik.

WORKSHOP
Hanya Rp. 20.000,- kamu bisa menambah ilmu untuk menjelajahi Surga-surga Tersembunyi di Indonesia :

* Video taping oleh NUNU NUGROHO (eks. Kameramen Harmoni alam)
* Travel writing oleh TEGUH SUDARISMAN (Fotografer, jurnalis, salah satu Pendiri PENA - Penulis Pengelana)
* Underwater photography oleh TEGUH TIRTA (Fotografer Underwater)
* Photography oleh ARBAIN RAMBEY (Fotografer Kompas dan Kurator JUST Travellers)
Info selengkapnya bisa dilihat di sini:
JUST Travellers @ Weekend


Flyer Workshop JUST Travellers @ Weekend
(klik untuk memperbesar
)

PS. The Backpacker's Notes sama sekali tidak berhubungan dengan acara ini ya, cuma bagi-bagi info aja. Siapatau ada yang tertarik dan mau ikutan. :)

Sunday, April 25, 2010

Wonders & Animation in Borobudur

Posting tamu oleh : Momosey Clefy



I felt curious when I see through Borobudur temple; did anyone ever try to estimate how many architects and technical artists works behind the splendor of Borobudur? What kind of art technology capable of producing the relief works on it?

Vihara Buddha Uhr, the Buddhist Monastery on the Hill
Borobudur temple is located in Muntilan, Magelang and is about 42 kilometers from Yogyakarta city. The Borobudur itself is one of Buddhist sanctuary, more than a thousand years old, it is recognized as one of the greatest stupa and World’s wonder of its kind in the world. Today, it is the center of tourist attraction in Central Java.

The name "Borobudur" is believed to have been derived from the Sanskrit words, Vihara Buddha Uhr, meaning the Buddhist Monastery on the hill. It is the greatest Buddhist work of art which still existing in the world.

Borobudur as World Art Treasure
Besides the thoughts of this magnificent building we also can walk around, enjoy and read Borobudur’s relief by Pradaksina method without a guide book. Because the reliefs itself looks like a 3D animation movie at the earliest forms of animation art. The different is, to watch modern movies, we only sit and then the movie played.

Animation was derived from the word Anima which means people, thus animation means “humanizing”. So it is the intention to give a “life” on something that is not alive and the object seems “live” because it is whether driven by programs, by a person’s hand, or with stop-motion technique, the important thing is if the result was something that “lives”, it means you’ve managed to create an animation.

Based on the definition of animation above, the animation itself was not started from the time of Walt Disney, with the mouse that we know as Mickey Mouse, published the first animation movie. Animation had actually been there even since the stone age. As an example is a cave in northern Spain, Altamira. There are many paintings on it’s walls. The painting had been there since thousands of years ago which is actually a time of early humans. In that time Indonesia has animation in Borobudur temple’s relief as well.



Borobudur as
Architectural Masterpiece
Borobudur’s architects and sculptors designed it to serve the purpose of veneration, worship and meditation, though Borobudur is not a temple as such. The beauty of art, story telling technique, artistic, symbols, meanings, and matters relating to the artistic work has been reviewed, but the simple facts, there must be thousands of technical workers who support the work of art workers behind the establishment of Borobudur.

The early architects designed the structure built around a natural mound of earth resting upon a stone foundation of two layers, square in plan with regular shaped projections making 36 corners in all.

The structure, composed of 55,000 square meters of lava-rock is erected on a hill in the form of a stepped-pyramid of six rectangular storeys, three circular terraces and a central stupa forming the summit. The monument comprises six square platforms topped by three circular platforms, and is decorated with 2,672 relief panels and 504 Buddha statues. A main dome located at the center of the top platform, is surrounded by 72 Buddha statues seated inside perforated stupa, standing 40 meters above the ground.

The whole structure is in the form of a lotus, the sacred flower of Buddha. The walls of the Borobudur are sculptured in bas-reliefs, extending over a total length of 6 kilometers.



Borobudur has since been preserved through several restorations. The largest restoration project was undertaken between 1975 and 1982 by the Indonesian government and UNESCO, following which the monument was listed as a UNESCO World Heritage Site.

Built around the turn of the 9th century A.D, Borobudur is still used for pilgrimage; once a year Buddhists in Indonesia celebrate Vesak at the monument, and Borobudur is Indonesia’s single most visited tourist attraction. It has been hailed as the largest and most complete ensemble of Buddhist reliefs in the world, unsurpassed in artistic merit, each scene an individual masterpiece.

It is said that if you put your arm through one of the bell-shaped stupa and can touch the stone within, you will have your wish come true. I’ve tried it, and whether it was coincidence or not, my wish has already came true.

All photos (c) Clefy & Erik, 2009.


Profil Kontributor
Clefy, lulusan Fakultas Desain & Seni Rupa sebuah institusi di Bandung ini kini sedang melanjutkan pendidikan di Florence, Italy. Temukan tulisan lain Clefy di website pribadinya yang dikelola bersama sang suami di Clefy and Erik. :)

Wednesday, April 21, 2010

Avatar: The Legend Of Garut (Part-1)

Posting tamu oleh: Wenny Rosliana

Awalnya...

Menyambut kedatangan sahabat kami QQ --yang lagi kuliah di UGM Jogja-- ke Jakarta tanggal 31 Oktober 2009 kemarin, gw dan Jule merencanakan untuk jalan-jalan. Tapi ke mana ya?

Hmmm, keliling Jakarta aja bosen.

Ada 2 pilihan nih: ke Pulau Seribu atau ke Pangandaran.

Pengennya bisa snorkeling di Pulau Seribu. Tapi pulau yang bisa snorkeling itu adanya di pulau yang jaraknya 2 jam naik speedboat dari Ancol. Kalo yang dekat seperti Pulau Bidadari ngga bisa snorkeling karena air lautnya keruh --please deeh-- dan masalah utamanya adalah kalo di pulau yang jauh itu biaya MAHALLL. Sooo... Pulau Seribu is out of our list.

Yawda kalo gitu ke Pangandaran aja, tapi kalo dari info-info yang ada, jangan ke Pangandaran terutama Green Canyon kalo lagi musim ujan. Selain aernya jadi warna coklat, arusnya juga deres. Malah bisa-bisa ditutup untuk umum. Yaaahhhh ditunda deh jalan-jalan ke Pangandarannya, nunggu musim panas dulu.

Trus iseng-iseng gw buka website www.kampungsampireun.com. Wuiihhh kyknya seru juga nih tempat, tapi sesuai ama harganya, kalo nginep disana mahall gheelaa! Lebih mahal dari cottage di Anyer. Tapi di bagian tour-nya ada City Tours Kota Garut dengan hanya Rp 300.000,-/mobil udah bisa keliling mengunjungi Batik Painting, Leather Factory, Shopping Traditional Food, Kamojang & Situ Cangkuang. Waaahhhh muraaahh! Telpon ah untuk informasi lebih lanjut, tapi ternyata ehh ternyata, paket itu cuma berlaku untuk penyewa villa ajah. Jiaaahhh...

Tanpa kehabisan akal dan dibantu oleh mbah google, gw cari-cari deh. Apaan sih itu Kamojang, Cangkuang, dan lain-lain. Lalu ditambah dengan bantuan Ngkong Google Maps ketemu deh peta dari Jakarta ke tempat-tempat itu.

And this is it...

We are going to
Garut!
Yaaaayy
!! ^o^

Pemberhentian Pertama: Danau Cangkuang, Garut
Kita berangkat dari Pondok Kelapa jam 6 pagi. Mampir di Bandung sebentar dan tujuan pertama kita adalah Danau Cangkuang. Kita nyampe di Danau Cangkuang sekitar jam 9. Kita parkir persis di depan pintu gerbang Danau Cangkuang dan di situ ada warung yang dijaga seorang ibu-ibu. Ia menatap kami dengan heran.

"Kok bisa parkir di sini? Emangnya ga diikutin dari depan?" tanya si ibu-ibu warung.
"Hehh... Emang ada apa, Bu?" kami balik bertanya dengan heran (juga).
"Biasanya kalo dari wisatawan dateng ke sini dari depan mobilnya udah diberentiin trus disuruh parkir, trus disuruh naek delman atau ojek mereka. Malah kalo turisnya bule lebih parah. Dari jalan utama udah disuruh parkir, trus naek delman nya cuma boleh 1 delman 2 orang. Harganya juga diketok," sahut si ibu warung bersemangat.

Waduuuhhh, parah juga... Gimana pariwisata Indonesia mau maju kalo masyarakatnya kayak gini... Ck-ck-ck.

Pas masuk ke dalem gerbang danau kita beli tiket, harganya gw lupa, tapi sekitar Rp 2.000 - Rp 3.000 per orang. Cingcay lah cuma segitu doang. Danau Cangkuang itu kecil, tapi indah karena dikelilingi oleh beberapa gunung. Peaceful banget...

Ini dia nih getek yang mengantarkan kami ke pulau.
Foto (c) Wenny Rosliana, 2009

Yang menjadi daya tarik di danau ini adalah adanya candi di pulau di tengah danau. Jadi kita mesti naek getek untuk menyebrangi danau dan nyampe ke pulau Cangkuang. Di sini harganya diketok lagi. Harusnya harga geteknya itu Rp 3.000 per orang PP, kapasitas 20 orang. Kita kesana ber-6. Si abangnya minta harga Rp 60.000,- Hahh????

Si abang alesannya, "Ya kan kapasitasnya 20 orang. Kalo mau harganya 3 ribu ya tungguin aja sampe 20 orang." Gilingan nih abang, tempat sepi kyk gini... Ampe besok juga blom tentu nyampe 20 orang. Ampun daaahhh...

Setelah tawar menawar yang alot akhirnya kita naek getek dengan harga Rp 35.000,- Fiuhh...

Candi Cangkuang dan Sejarahnya
Sampe di pulau, langsung deh keliatan candi yang dituju. Oia, nama Cangkuang itu diambil dari nama buah Cangkuang yang pohonnya banyak tumbuh di pulau ini.

Sambil menaiki anak tangga, akhirnya kita sampe juga ke Candi Cangkuang, yang merupakan candi Hindu. Di depan Candi Cangkuang terdapat makam Mbah Dalem Arif Muhammad.

Konon ceritanya Arif Muhammad ini adalah orang dari kerajaan Mataram yang dikirim ke Batavia untuk melawan VOC. Tapi Arif Muhammad ini gagal dalam tugasnya, dan ada hukuman kalo balik lagi ke kerajaan. Akhirnya dia mengungsi ke daerah Cangkuang yang pada saat itu dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu. Arif Muhammad menyebarkan agama Islam di sana tanpa membuang adat istiadat setempat sehingga diterima oleh masyarakat.

Sampai sekarang di pulau Cangkuang masih ada kompleks rumah adat "Kampung Pulo". Di rumah adat ini 1 rumah hanya boleh dihuni oleh 6 orang perempuan dan 1 orang laki-laki. Kata bapak-bapak penjaga makamnya, selama berada di pulau ngga boleh ngomong sembarangan.

Pintu gerbang menuju Candi Cangkuang.
Foto (c) Wenny Rosliana, 2009

Di depan candi ini juga ada bangunan rumah yang awalnya gw pikir musholla tapi ternyata museum mini yang isinya peninggalan-peninggalan Arif Muhammad, contohnya seperti Naskah Khotbah Jumat terpanjang yang ditulis di atas kertas daun, dan lain-lain.


Kiri: Kitab kuno peninggalan Arif Muhammad;
Kanan: Naskah Khotbah Jumat terpanjang.
Foto (c) Wenny Rosliana, 2009

Puas foto-foto dan jalan-jalan di pulau, kita kembali lagi deh ke parkiran untuk menuju ke Kawah Kamojang dan Kampung Sampireun.

Bersambung ke Avatar: The Legend Of Garut (Part-2)

Keep reading yach.... ^o^


Profil Kontributor
Wenny, kini bekerja di sebuah lembaga pemerintahan di Jakarta. Hobi jalan-jalan dengan budget minim dan sudah berencana untuk jalan-jalan lagi dalam waktu dekat. :)

Monday, April 19, 2010

Free Download: “Draft Itinerary Singapore – KL – Saigon – Bangkok”



Saat saya dan teman-teman berencana untuk backpacking ke empat negara Asia Tenggara, kami sempat bertemu dahulu sekitar seminggu sebelum hari keberangkatan untuk membahas itinerary, dengan rute Singapore > Malaysia > Vietnam > Thailand.

Itinerary tersebut dapat diunduh GRATIS di sini:
DOWNLOAD NOW
File Name: "091210-19 Travel Itinerary - Backpacking SG-KL-HCMC-BKK.xls”
File Size: 32.0 KB
Format: Microsoft Excel 2003 (di-setting untuk dicetak di atas kertas ukuran A4)

Rute Perjalanan:
Singapore > Malaysia (Kuala Lumpur & Melacca) > Vietnam (Ho Chi Minh City) > Thailand (Bangkok & Ayutthaya)


Draft awal itinerary ini dibuat oleh Hanny, salah seorang partner jalan-jalan saya waktu itu. Thanks Han! :) Saya sih hanya merapihkan & memperbaharui informasi sehingga sesuai dengan perjalanan kami kemarin, hehehe... Tapi jadwal akhirnya saya agak lupa berhubung kameranya (yang dipakai buat nginget-nginget) sempet habis baterei, hehehe jadi di sini saya tulis garis besarnya aja.

Itinerary ini juga sudah saya perlengkap dengan lebih rinci, sehingga bila dicetak akan menjadi dokumen praktis yang telah memuat sebagian besar info penting, seperti kode penerbangan, alamat & nomor kontak penginapan, dsb.

Silahkan diunduh & disesuaikan dengan kebutuhan, Anda dapat menambahkan booking number, harga tiket masuk, dan info-info penting lainnya di file excel tersebut.

Sebagai catatan, draft itinerary ini kami buat hanya sebagai panduan, saat di sana kami jalan-jalan juga tidak strict harus sesuai dengan itinerary (makanya disebut “draft”). Lagian kalo terlalu terlalu terpatok dengan jadwal, jalan-jalannya jadi ngga asik lagi kan, karena sibuk ngejar jadwal sana-sini.

Ada saran lain untuk melengkapi itinerary ini? Silahkan lho komentarnya… :)

Cerita di Balik Itinerary Ini…
Kalau ada yang menyadari bahwa selama di Singapore kami terlihat "makmur", that’s because of my SUPERDUPERKIND ex-boss. He treat us so great during our trip in Singapore, therefore me & my friends only spend money just for accommodation & souvenirs. A big thankyou for him! :D Also thanks a bunch for all my ex-colleagues in Singapore, they have accompanied us throughout long day of sightseeing and exploring, from WEST to EAST part of Singapore without any complain, hahaha… They’re awesome! :) —Kinda miss them now, hope to see them again someday—


Catatan Administrator:
Ke depannya, blog The Backpacker's Notes akan menyediakan topik "Free Download", yang menyediakan dokumen dengan topik jalan-jalan/backpacking yang dapat diunduh secara GRATIS di website ini. Semoga membantu.

Saturday, April 17, 2010

East Java Trip : Journey to Surabaya - Sidoarjo - Sempu - Bromo - Malang - Batu (Part-2)

Posting tamu oleh : Effendy Siawira

Sambungan dari East Java Trip : Journey to Surabaya - Sidoarjo - Sempu - Bromo - Malang - Batu (Part-1)

Hari ke-2 : Lumpur Lapindo Sidoarjo dan Pulau Sempu
Hari kedua merupakan perjalanan yang sangat panjang, oleh karena itu jam 5 subuh sudah dimulai antrian mandi. Pukul 06.30 WIB kami telah mendapatkan tempat sarapan yang enak di G-Walk, salah satu bagian dari Ciputraland.

Makanan khas Medan yang dijual di Surabaya ini yang menjadi pilihan kami: nasi campur dan lontong sayur. Maknyusss dengan harga Rp 12.000/porsi sudah memberikan kepuasan tersendiri bagi perut kami.


Menu Sarapan Kami: Nasi Campur dan Lontong Sayur.

Foto (c) Effendy Siawira, 2009


Pukul 8 pagi, dengan Innova yang berisi 9 orang (including supir), perjalanan pun dimulai dari kota Surabaya. Melalui jalan tol Porong, kami sempat singgah sebentar di bendungan lumpur Lapindo atau yang sering disebut sebagai Lusi (Lumpur Sidoarjo).

Di sekeliling jalan terdapat bendungan tinggi yang berfungsi untuk membendung si lumpur. Ternyata bencana ini tidak menghilangkan ide dari penduduk setempat untuk berbisnis. Beberapa spot di sepanjang bendungan, dibangunlah tangga-tangga dari bambu untuk menuju puncak bendungan. Sekali naik dikenakan tarif Rp 3000/orang.

Sejauh mata memandang, yang terlihat cuma lumpur, asap dan atap pabrik yang sudah tertimbun. Kami ditawarkan oleh warga di sana untuk menuju pusat semburan dengan ojek yang +/-10 menit dari tempat kami berdiri sekarang dengan harga Rp 15.000/ojek. Mengingat rencana perjalanan kami masih panjang untuk hari ini, maka kami memutuskan untuk langsung berangkat lagi.

Perjalanan terus berlanjut ke arah Selatan dengan melewati Kota Lawang. Sepanjang perjalanan kami tidak bermaksud untuk makan siang --dengan PD-- karena yakin akan menemukan tempat makan di lokasi tujuan.

Pukul 12 tepat, kami sampai di Sendang Biru. Sungguh bagus pemandangannya. Sesuai dengan namanya, air di tempat itu bener-bener biru. Di seberang posisi tempat saya berdiri ini ada satu pulau yang dinamakan Pulau Sempu. Pulau kecil ini terletak terpisah dengan Pulau Jawa.

Sempu Map
Lokasi Sendang Biru, Teluk Semut, dan Segara Anakan.
Foto (c) Effendy Siawira, 2009

Perut mulai minta jatah, mengintai ke kiri dan kanan dengan gaya “monkey king” --hehe, lebay-- Kami tidak menemukan adanya tanda-tanda restoran disini. Akhirnya ketemu satu warung kecil di pintu masuk, dan ternyaaataaa… warung itu juga tidak ada makanan, yang ada cuma indomie. Ya sutralah, akhirnya pesan indomie pake telur.


Pantai Sendang Biru, Jawa Timur.
Foto (c) Effendy Siawira, 2009

Selesai makan, kami berencana untuk menyebrang ke Pulau Sempu. Si empunya kapal menawarkan harga Rp 350.000 untuk keliling Pulau Sempu, dengan kapal kecil dalam waktu +/- 2 jam. Tetapi tujuan kami adalah ke Segara Anakan.

Segara Anakan ini adalah lagoon kecil yang terletak di tengah-pulau Pulau Sempu. Dapat ditempuh dengan kapal dan berjalan kaki memasuki hutan. Akhirnya kami menyewa kapal dengan harga Rp 100.000 PP menuju Pulau Sempu.

Perjalanan kapal ditempuh dalam waktu 15 menit. Sampailah kami di pinggiran Pulau Sempu yang dinamakan Teluk Semut. Dari sinilah perjalanan dimulai (pukul 13.00 wib).

Segara Anakan, tak kalah dengan Ko Phi Phi di Thailand
Baru saja berjalan sekitar 50 meter, kami ketemu jalan bercabang. Sebelah kiri terhalang oleh pohon yang tumbang, sedangkan sebelah kanan lumayan clear. Kami memilih jalan yang kanan. Setelah berjalan sekitar 20 menit, jalanan semakin aneh, jalan setapak mulai gak jelas, jalan daritadi menanjak, dan kami merasa bukan menerobos hutan, tetapi malah berjalan-jalan mengelilingi samping pulau.

Kami memutuskan untuk kembali ke jalan bercabang dan memilih jalan yang satunya lagi. Pukul 13.45 kami kembali sampai ke jalan bercabang. Nekad melangkahi batang pohon tumbang, ternyata jalan ini lebih manusiawi, walaupun jalanan penuh lumpur tapi setidaknya tanjakan tidak terlalu curam. Perjalanan satu setengah jam, tapi belum ada tanda-tanda akan sampai.

Akhirnya kami menyetujui akan balik jika jam 4 juga belum ketemu Segara Arakan, mengingat letak geografis di daerah ini yang lebih ke arah timur Indonesia yang artinya matahari akan terbenam lebih cepat dari biasanya. Untungnya jam 4 tepat kami sudah melihat air di Segara Anakan yang berwarna biru. Wuih, keren dah...


Segara Anakan.
Foto (c) Effendy Siawira, 2009

Setelah sampai, sempat foto-foto dan istirahat sejenak termasuk mencuci kaki yang sudah dipenuhi lumpur. Lagoon ini bentuknya bagus, dikelilingi oleh tebing, dan salah satu tebing itu ada membentuk lingkaran besar dengan ombak yang selalu menghempas dari arah Laut Selatan. Pokoknya setelah sampai disini, serasa tidak percaya bahwa ada tempat yang sebagus ini di Indonesia. Ada beberapa orang yang menyebutkan bahwa lokasi ini lebih bagus daripada PhiPhi Island di film “The Beach” Leonardo DiCaprio.

Kembali ke Pulau Sempu
Setelah ber-narsis ria sesaat walaupun belum puas, apapun yang terjadi, jam 5 kurang ¼ kami harus balik. Mengingat langit yang semakin gelap, dan kami ke pulau ini tanpa persiapan yang memadai (dengan pakaian wisata, sandal casual, tanpa air minum dan makan siang sekedarnya). Perjalanan dipercepat untuk menghindari gelap. Perjalanan cuma beberapa menit, langit sudah menunjukkan kondisi gelap. Dan terjadilah accident kecil.

Salah satu teman terperosok di jembatan kayu yang menyebabkan kaki luka dan sandal hilang, akhirnya si teman berjalan dengan nyeker (tanpa alas kaki). Langit semakin gelap, dan kami yang tadinya ber-8 berjalan bersama semakin terpencar. Tinggallah saya dan 2 orang teman lainnya di paling belakang.

Perjalanan terasa sangat lama dan tanpa penerangan memadai, untung saja ingat bahwa HP-saya ini bisa membantu sedikit penerangannya. Dalam kondisi seperti itu, jalanan di depan hanya berbayang-bayang. Kubangan lumpur yang seharusnya bisa dihindari di kala terang, menjadi korban kaki saya. Sandal yang semula dipakai untuk membantu melindungi tapak kaki malah menjadi hambatan karena licin dan sering tertinggal di dalam lumpur. Akhirnya saya ikutan nyeker juga.

Di tengah perjalanan, muncul seorang bapak dari belakang dengan obor dan sebuah tangkapan ikan yang besar sekali dan meminta izin untuk lewat. Dengan obor itu, lumayan sedikit terbantu melihat jalan. Tapi ternyata si Bapak berlalu dengan cepat dan akhirnya kami ditinggal dalam kegelapan kembali.

Pukul 19.15
: Ternyata kami sudah mendapatkan sinyal HP, langsung saja kami menghubungi teman yang sudah duluan sampai di Teluk Semut untuk menghubungi Bapak Perahu untuk menjemput dari seberang. Ternyata Bapak Perahu sudah di Teluk Semut sejak setengah jam yang lalu karena sedikit khawatir dengan keberadaan kita. Setelah mendapatkan info bahwa kami akan segera sampai, si Bapak Perahu langsung menerobos ke dalam hutan untuk menjemput kami dengan senter yang agak mumpuni.

Pukul 19.30:
Akhirnya kami sampai juga di Teluk Semut bersama si Bapak Perahu, kemudian kami dianter balik ke Pulau Sempu dengan kapalnya. Selama perjalanan, si Bapak menyuruh kami tidak boleh menyalahkan lampu apa pun, termasuk HP. Kami tidak mengerti apa maksudnya, dan kami hanya menurutinya.

Pukul 19.45: Kami kembali menginjakkan kaki di Pulau Sempu. Haus yang luar biasa mengarahkan kaki kami secara otomatis langsung menuju rumah penghuni sana yang menjual teh botol. Ntah berapa botol yang diminum oleh kami-kami. Setelah itu beristirahat sebentar dan gantian mandi. Setelah mandi, sekitar jam 21.00 WIB kami berangkat kembali menuju tujuan selanjutnya, yaitu Gunung Bromo.

Menuju Bromo
Di mobil kami mulai bercerita tentang perjalanan, dan mulai merasakan lapernya perut. Yah berhubung ini termasuk desa kecil dan masih hutan environment, maka kami agak susah menemukan warung di pinggir jalan.

Akhirnya kami tertidur dan jam 11 malam sampai di kota Malang. Segera saja kami mencari restoran McD yang kemungkinan besar buka 24 jam. Untung ada teman yang pernah bekerja di Malang dan mengetahui lokasi pasti dari si McD. Selanjutnya kami tertidur lagi di mobil dan membiarkan Pak Supir membawa kami ke Gunung Bromo.

Hari ke-3: Mendaki Gunung Bromo
Sekitar pukul 1 pagi, akhirnya kami sampai di hotel di Bromo (lupa euy nama hotelnya). Yang pasti hotel ini sudah di-booking sebelumnya lewat telepon. Suasana dingin sudah mulai menusuk tulang. Masuk kamar langsung tidur dah, walopun ada beberapa teman yang masih sibuk mengeluarkan duri pohon-pohon yang tersangkut di kaki hasil warisan dari Pulau Sempu.

Pukul 03.30 WIB kami harus bangun lagi untuk menikmati indahnya sunrise. Serasa belum puas nih tidurnya. Tapi tetap aja harus bangun, gosok gigi dan berangkat dengan Jeep yang telah disewa sebelumnya. Kami menyewa Jeep 2 biji (masing-masing berisi 4 orang).

Di kamar hotel ini telah berkumpul penjual-penjual sarung tangan, kupluk, dan menyewakan mantel dsb. Tapi tidak disarankan membeli disini. Sebab harganya bisa 3-4 kali lebih mahal daripada toko-toko di daerah Gunung Bromo.

Tidak ingat lagi perjalanan dengan Jeep ini berapa lama, yang pasti semua penumpang sudah tertidur lagi. Pas bangun sudah berada di daerah Penanjakan. Udara dingin di Bromo cukup membuat tangan menggigil. Ini merupakan tempat yang sangat favorit bagi pecinta fotografi untuk mengabadikan moment matahari terbit.


Gunung Batok.

Foto (c) Effendy Siawira, 2009

Setelah ini adalah waktunya sarapan dan kemudian dilanjutkan menuju kaki kawah Bromo. Jeep 4WD yang kami sewa ternyata tidak bisa membawa kami hingga ke tujuan. Untuk mencapai kaki Gunung Bromo masih berjarak sekitar 500 meter. Saat itu kami menyewa kuda dengan harga Rp 35.000,- bolak-balik. Cukup seru! Dari kaki kawah, kami harus memanjat anak tangga sebanyak 250 step untuk mencapai puncak Gunung Bromo.


Stairway to Mount Bromo.
Foto (c) Effendy Siawira, 2009

Setelah itu waktunya kembali ke hotel untuk bersih-bersih dan mengepack barang bawaan untuk check out.

Jam 12 tepat, kami keluar dari hotel dan melaju menuju Malang. Lokasi wisata di Malang adalah Jatim Park. Tempat ini seperti Dufan-nya Jakarta. Tapi alangkah suramnya, tempat wisata ini tutup pada pukul 5 sore. Akhirnya kami hanya duduk dan foto-foto sesaat dan memutuskan untuk kembali ke Surabaya.

Hari ke-4: Pulang deh ke lokasi asal... Balikpapan, I’m coming! :)


Profil Kontributor
Effendy Siawira, geoscientist di sebuah perusahaan. Memiliki hobby travelling, petualang mengunjungi tempat baru, dan mencoba hal-hal yang baru. Tipe manusia yang tidak suka terikat dan melakukan sesuatu semaunya (dengan catatan tidak merugikan org lain, syukur-syukur kalau orang itu bisa ikut senang ^^). Paling senang berburu tiket promo dan merencanakan perjalanan jauh-jauh hari, walaupun pada akhirnya belum tentu tiketnya dipakai. Motto hidup: "tidak ada yang lebih penting selain membangun networking". Tulisan Effendy lainnya dapat dikunjungi di blog pribadinya: UNEQ – ONUQ by effendy siawira.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting